Dilema Sebuah Produktivitas Semu

Tulisan ini sebetulnya lanjutan dari tulisan saya sebelumnya, jadi kalau yang belum baca, disaranin baca dulu ehehehe~ (biar lebih nyambung aja sih). Tapi ibarat pelem Marvel, ditonton dari seri yang manapun tetep bisa dinikmati kok (hopefully 🤪)

How Much Productive is being Productive?

Kalau kalian udah baca ceritanya bang Ray, dia sempat mention sesuatu yang namanya “fake grinding”. Kurang lebihnya jika saya simpulkan, fake grinding ini adalah sebuah kekeliruan dalam memahami produktivitas.

Kebanyakan dari kita merasa siapa yang stay di kantor paling lama atau pulang paling malam, dia yang paling kerja keras. Siapa yang paling banyak kerjaannya, dia yang paling “produktif”. Siapa yang paling sering lembur, dia yang paling dedicated. Siapa yang paling sering ashiaappp di saat anggota team atau bos minta bantuan, dia yang paling loyal. Benarkah?

Grind ourselves to the point of our limit sometimes help us discover our hidden potentials. Katanya, sebuah intan permata itu awalnya batu item jelek banget, tapi ketika dikasih tekanan panas dan diamplas berkali-kali bisa jadi perhiasan dan bernilai tinggi. Intinya, kerja keras emang gak akan mengkhianati hasil.

Tapi, ada loh tipe “grinding” yang itu “fake”.

Energepic.com

Fake karena kerja keras kita gak menghasilkan return jangka panjang bagi diri kita atau perusahaan. Fake karena ada harga yang harus di bayar di akhir atas semua kerja keras kita. Fake, because we lie to ourselves. We are not aware of our own capacity that we keep pushing ourselves till we can’t do anything anymore.

Konsekuensinya, cepat atau lambat tubuh kita akan bereaksi. Pikiran bisa kita manipulasi, tapi tubuh kita tidak. Tuhan telah menciptakan semua fungsi-fungsi organ dan anggota tubuh dengan sistem yang sangat sempurna, tapi bukan berarti tak terbatas. Batasan itu Tuhan ciptakan agar sistem tubuh mampu menjalani fungsi-fungsinya dengan baik. Jika batas itu dilanggar, ya kayak bom waktu jadinya. Tinggal nunggu organ mana yang duluan memberontak. Oh, hello doctor!

Nah terus gimana bos, gue ini masih kacung kampret yang mesti pembuktian diri di kantor? Lo sih enak bisa ongkang-ongkang, bisa liburan kapanpun, lah gue? Gue selalu ada di garda terdepan para klien ngehe. Kalau ada complain, yang kena duluan pasti gue. Kalau ada masalah, yang ditekan pasti gue. Dan gue mesti ngasih report ke para atasan-atasan, koordinasi lintas tim, dan (ehem) selalu pulang paling malem karena klien yang gue handle gak cuma satu atau dua. Deadlinenya mepet-mepet semua. Terus gimanaaa malihhh? Help!!!

– Curhatan seorang Milennial first jobber.

I heard you.

I’ve been there, too.

Pelajari Cara Kita dalam Bekerja

Agaknya kita perlu memisahkan mana paradigma yang benar dan mana paradigma yang salah. Ini berdasarkan pendapat saya ya, setiap orang pastinya bisa beda-beda, let’s just agree to disagree about this, k?

Menurut saya, saat awal-awal meniti karir, goals yang paling penting yang harus kita capai adalah kepercayaan. Bukan jabatan, gaji, atau bahkan skill. Kenapa?

Trust is gained.

Gak semua orang beruntung mendapatkan tempat bekerja yang ideal saat pertama kali mereka melamar kerja. And it’s okay, very very okay.

Bagi saya, karir (dan hidup) itu seperti marathon, bukan sprint. Perjalanannya panjang. Let’s say kita memulai karir di usia 20 tahun dan rata-rata harapan hidup manusia di usia 70-80 tahun, maka karir akan kita jalani selama kurang lebih 50 tahun. Bayangin, kita dari lahir sampe usia 20 tahun aja udah kerasa lama ya, banyak dinamikanya. Apalagi dua sampe tiga kali lipatnya ya kan.

Memaksakan standar kalau kita harus udah “mapan” di usia 20 atau 30, itu BS. I truly appreciate to those Forbes 30 under 30 or 40 under 40 but let’s just accept it: it’s not for everyone. Ada banyak konteks yang terikat di hidup seseorang, dari mulai faktor dia dibesarkan, keluarga, lingkaran pertemanan, sosial-budaya, dll. Sehingga, salah kaprah kalau kita mentally down atau kerja bagai quda sampe bulak balik opname 10x setahun (ini rada extreme sih) itu adalah sebuah pencapaian. You just ruined yourself.

Satu-satunya standar yang REALISTIS BAGI SIAPAPUN adalah kepercayaan. Kepercayaan dari klien, bahwa kita (atau produk yang kita tawarkan) bisa memenuhi kebutuhan mereka atau memecahkan masalah mereka. Kepercayaan dari atasan bahwa kita mampu deliver sesuai kemampuan kita. Kepercayaan dari anggota team kalau kita bukan orang yang kabur-kaburan dari tanggung jawab.

Nah tapi kan untuk mendapat kepercayaan itu butuh skill dong? Butuh lahan juga? Gimana kita bisa dapet kepercayaan kalau gak pernah dikasih lahan yang pas, dan gak punya skill yang dibutuhkan? (I know you’ll be asking this)

Berarti dari awal, kita harus tegas untuk MANAGE OUR EXPECTATION. Kalau dari awal kita tau kerjaan kita itu gak bisa kita lakukan (atau kita pelajari), ya komunikasikanlah sama anggota tim atau atasan. Kalau udah gak sesuai sama KPI, ya jangan diem-diem dan iya-iya bae.

Kita mesti tegas untuk hanya mengerjakan apa yang kita mampu kerjakan (sesuai KPI yang udah kita sepakati tentunya), dari segi bidang, waktu, dan kuantitas. Karena kalau enggak, baik atasan, klien, atau anggota team akan assume atau bahkan expect kita bisa ini itu. Saat ternyata di tengah jalan kita gak bisa…jebreeett… kena lah kita dengan teguran dan evaluasi. Hilanglah kepercayaan itu 😢

*insert cynical laugh*

Goals dari sebuah pekerjaan adalah SELESAI dengan kualitas yang baik. Bukan asal selesai, apalagi sampe gak selesai.

Gak usah muluk-muluk dulu buat ambil tantangan yang lebih tinggi karena it soon will follows kalau kita udah bisa membuktikan pekerjaan yang diamanahkan itu bisa selesai dengan baik. Gak apa-apa kerasa kerdil karena baru bisa segini doang. Kalau kita udah berkali-kali melakukannya, nanti juga jago-jago sendiri kok.

Disinilah produktivitas kita akan bermain. Dari yang awalnya kita membutuhkan 8 jam untuk menyelesaikan 1 pekerjaan, sekarang bisa cuma 5 jam doang. Kita udah hapal alurnya, udah ngerti teori dan troubleshootingnya. Sisa 3 jam bisa kita manfaatin untuk nyicil pekerjaan yang lain, atau mencoba belajar hal baru buat investasi skill.

Dari 5 jam tadi, eh ternyata kita makin jago nih, bisa nemu cara yang lebih efisien dan efektif. Akhirnya bisa selesai dalam waktu 2 jam doang. Yang tadinya 8 jam cuma bisa menyelesaikan 1-2 pekerjaan, sekarang bisa 3-4 pekerjaan. Tanpa lembur ya.

Saya percaya, seiring dengan peningkatan kualitas produktivitas kita, akan meningkat pula kepercayaan perusahaan kepada kita. Jika kepercayaan ini sudah kita miliki, insya Allah (at least this works for me) kita akan dikasih opportunity untuk belajar lebih lewat challenge-challenge yang lebih menantang (semoga gaji dan posisi mengikuti yaa 😁 ). Entah di kantor yang sama, atau di kantor yang berbeda (ciee “dibajak” nih ceritanyaaa). Entah sebagai karyawan, atau sebagai entrepreneur. Percayalah, buah kepercayaan ini selalu manis.

Generasi Sungkanan

Saya gak tahu ini perasaan saya doang atau memang ini sebuah kultur. Di Indonesia, kayaknya “say no” itu konotasinya kurang baik. Budaya kita gak terbiasa dengan menolak di depan, seringnya “iya-iya” di depan, di belakangnya belum tentu (bahkan udah ngomong “Insya Allah” sekalipun, 90% tandanya “enggak” – no offense ya kalo ga ngerasa *peace*).

Insya Allah?

Menurut saya, ini bisa jadi tantangan besar buat kita untuk berkembang. Kita gak berani nolak pekerjaan, tapi berani nolak ketemuan sama keluarga atau pacar (mungkin mereka di-“iya-iya”in juga yah?) demi kerjaan. Kita gak berani nolak lembur atau kerja di hari libur, tapi berani nolak ajakan olahraga dari teman, atau dorongan check-up dari dalam tubuh sendiri.

Memang ini terserah prioritas masing-masing sih gimana mau menyeimbangkan semuanya. Tapi kalau dari awal kita gak terbiasa say no, ya siap-siap jadi bang Thoyyib atau bulan-bulanan bos Ferguso.

Love Yourself, before Anything Else

Hidup ini milik kita, bukan milik orang lain. Amanah yang diberikan Tuhan kepada kita itu kita yang ngejalanin, bukan orang lain. Bahagianya kita, sedih atau sakitnya kita, itu kita yang atur, bukan orang lain.

Seberapapun tingginya cita-cita kita, butuh yang namanya waktu dan proses. Semua gak akan terwujud dalam sekejap. Start orang juga bisa beda-beda dan itu gak bisa kita pukul rata kayak lomba lari. Life is a marathon, honey.

Pace itu kita yang atur. Cepet atau lambat bukan jadi tujuan, tujuannya itu sampe di garis finish dengan sehat dan selamat. Sama seperti hidup, agaknya kita semua sepakat ya kalau kita ingin berumur panjang agar bisa berkarya lebih lama dan lebih banyak? Agar bisa menurunkan ilmu kita ke generasi-generasi selanjutnya? Agar bisa bermanfaat sebesar-besarnya.

1. Working hard is okay, it’s a must. But working hurt is not.

Kerja keras itu wajib, tapi tidak sama dengan mengorbankan hak-hak tubuh kita, hak-hak keluarga atas diri kita, apalagi mengorbankan ibadah, hak-Nya Allah atas diri kita.

2. Kerja keras itu bukan bekerja lebih lama, tapi bekerja lebih kualitas.

Maknanya, seberapapun kemampuan kita sekarang, kita berusaha mengejar kualitas (atau meninggikan kuantitas output di jatah jam yang sama). Berusaha upgrade. Paksain diri kita supaya gak males belajar, gak males baca buku, gak males dengerin podcast, gak males diskusi atau cari mentor. Itu baru kerja keras.

Kerja keras itu bukan ngepush diri kita begadang dari pagi ketemu pagi. Kerja keras itu sekeras mungkin kita berusaha fokus dan menolak segala distraksi-distraksi saat bekerja. Sehingga kita gak perlu sampe begadang. Kerja keras itu mikir gimana caranya pekerjaan dibagi, diprioritaskan dengan baik, supaya selesai tepat waktu sesuai porsi pekerjaan itu sendiri.

3. Kerja keras itu bukan menerima mentah-mentah apapun bentuk pekerjaan yang dikasih sama atasan atau tim kita.

Kerja keras itu adalah sekeras mungkin kita melawan diri kita untuk sungkan. Sekeras mungkin melawan perasaan gak enakan, atau asumsi-asumsi kalau atasan atau anggota tim akan merendahkan kita. Sebisa mungkin kita komunikasikan dengan baik kapasitas kita untuk menyelesaikan semua pekerjaan dengan realistis.

FYI, saya gak against begadang kok. Begadang boleh, hanya dalam kondisi terpaksa. Terpaksa ini kan gak terjadi setiap hari atau setiap minggu ya. Kalau itu namanya terbiasa.

Terpaksa begadang karena mau gelar event. Terpaksa begadang karena mesti cover up kerjaan anggota yang sakit atau tiba-tiba kena musibah. Terpaksa begadang karena ada kebutuhan mendesak yang harus kita penuhi, it’s okay kok. Terpaksa begadang karena sebagai WAHM (Working at Home Mom) atau wanita karir, kita mesti juggling between ngurusin anak dan keluarga dengan kerjaan yang harus diselesaikan. Gak semua kondisi akan ideal, dan kadang-kadang memang kita harus sedikit berkorban untuk itu.

Meskipun yang namanya lembur, begadang, juga gak boleh keenakan. Gak boleh lupa sama hak-hak tubuh kita dan hak-hak lainnya. Mesti eling lah istilahnya, bahwa hal yang kita korbankan juga suatu saat bisa ‘berontak’ kalau kita gak me-maintain itu dengan baik. Dan selalu ingat: Life is a marathon. Perjalanan masih panjang.

Percakapan dengan Abang Ojol

Saya pernah suatu hari bercakap dengan babang Ojol, sekitar Ramadan taun lalu. Saya yang suka diajak babang Ojol ngobrol dan selalu jawab “iya iya” ini, saat itu tergerak buat bertanya. Saya penasaran bagaimana jam kerja abang Ojol, khususnya di bulan puasa saat dia ditekan target poin dan target income dari istri buat Lebaran.

Apalagi kalau bulan puasa banyak banget orderan dari customer untuk g-food saat sahur dan berbuka. Belum jalanan ibukota yang macetnya udah bikin pen nangis setiap menjelang buka puasa. Saya penasaran gimana si abang Ojol mengatur waktu dan energinya.

Dari abang Ojol saya tau bahwa masing-masing Ojol driver itu beda-beda cara nyari rejekinya. Ada yang fokusnya di ngojek aja tapi gak ngoyo ambil g-food dll, ada juga yang diambil semuanya. Bahkan ada dari Ojol driver yang jalan dari jam sahur sampeee jam 12 malam. Istirahat mungkin hanya sebentar saat jam 11 pagi – 3 sore, setelah itu gerak sampe tengah malam. Istirahat sebentar, lalu jalan lagi setelah sahur jam 2 karena orderan g-food saat sahur juga cukup menjanjikan.

Saya tanya gimana cara mereka yang menguras fisik sebegitu besarnya mengelola energinya. Jawabannya: energy drink! (sounds ‘duh’, huh?)

Nutritional facts dari Monster Energy Drink yang biasa disantap anak-anak. Belum yang level dewasa ya, kandungannya jauh lebih tinggi.
Click here to read the medical perspectives.

Si abang Ojol kemudian cerita kalau banyak rekan seprofesinya yang sering banget minum produk kalengan atau botolan itu demi ngeboost ketahanan tubuhnya. Produk yang penuh dengan pemanis buatan dan bahan pengawet lainnya itu juga kabarnya banyak dikonsumsi para pekerja malam (maksudnya karyawan yang kerjanya sampe malem banget wkwk).

“Iyasih, duit banyak. Tapi biaya RS juga besar. Gimana nasib keluarga kalau saya gak bisa sokong lagi?”

– Ojol driver.

About Limitation

Tidak ada yang lebih mengerti diri kita selain diri kita sendiri. Kapasitas, keterbatasan, kemampuan, semua potensi kita yang lebih tau. Apapun tujuan yang ingin kita raih dalam karir, agaknya lebih bijak jika semuanya disesuaikan dengan kemampuan.

Hmm…mungkin advice ini agak konservatif kali ya, beda banget sama rata-rata advice di luar sana yang memotivasi untuk break the limit dan lain-lain. Gak tau kenapa akhir-akhir ini saya cenderung merasa kalau ‘limit’ itu kita yang atur. Limit bagi kita, bisa jadi cemen bagi orang lain. Begitupun sebaliknya.

Kondisi setiap orang gak bisa dipukul rata, dan bagi saya it’s okay. Limit itu ada bukan tanpa alasan. Manusia punya keinginan dan ego yang tak terbatas. Kalau diterusin, bukan hanya diri kita yang akan hancur, tapi juga orang-orang di sekeliling kita.

syalalalala~

However, limit ini bukan sesuatu yang ‘fix’ juga. Limit itu adjustable. Seperti halnya kapasitas sebuah kendaraan, kalau udah over capacity, kita bisa beli kendaraan baru yang lebih tangguh dan menampung lebih banyak orang. Tapi ya gitu, buat beli kendaraan baru tandanya siap-siap ngeluarin uang yang lebih banyak, siap-siap bayar pajak yang lebih tinggi, dan biaya maintenance yang lebih tinggi. Bisa gak? Pasti bisa tentu saja jika kemampuan kita dalam menghasilkan income bisa meningkat sebagai hasil dari upgrade produktivitas diri kita.

So, afterall, pilihan ada di tangan kita. Mau bekerja seperti apa, mau me-limit diri kita seperti apa. Realistis tapi strategis, mungkin itu kali ya kesimpulannya? ***

Feature image: Karen Lau on Unsplash.

Cinta

f/27. ENTJ. Hufflepuff. Student. Rookie Wifey.

Comments (8)

  • Rika Widiastuti Altairsays:

    May 26, 2019 at 3:11 pm

    Kebanyakan yang kualami orang bilang InsyaAllah tapi hasil akhirnya suka tidak jadi. Makanya kadang aku kerap tekankan sama temen2 aku kalau insyaAllah harus ditepati kalau memang tidak ada halangan urgent🙂

    • Cintasays:

      May 27, 2019 at 4:56 am

      Betul mba, mestinya bilang InsyaAllah itu mesti hati-hati banget, karena sunnah-nya itu InsyaAllah = berjanji. Kalaupun ada force majeure (di luar kuasa manusia) bukan berarti kita “berencana” gak menepati janji kan ketika bilang begitu. Memang budaya yaa susah diubah…

  • Dyahsays:

    May 28, 2019 at 2:39 pm

    Ah, setuju banget. Menurut saya, orang itu bahagia ketika di 30 detik terakhir hidupnya dia bahagia. Kalau sekarang mengejar kebahagiaan tapi nggak sampai-sampai, ya sama aja bohong. Tapi alasan orang mau “kerja rodi”, kadang-kadang adalah rasa takut, lho. Rasa takut kehilangan kemapanan. Takut kalau atasan nggak sreg, bonus dan kenaikan gaji tahun depan berkurang. Makanya kasus sakit karena kerja itu terjadi. Pada dasarnya orang ingin mapan.

    • Cintasays:

      May 29, 2019 at 4:44 am

      Memang agak susah sih apalagi hidup jaman sekarang dengan sosial media..kadang nentuin standar kemapanan tiap orang bisa beda-beda dan bisa saling mempengaruhi. Semoga kalaupun terpengaruh, tetap hal-hal yang positif dan membahagiakan yaa…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *