Ramadan tahun ini adalah Ramadan pertama saya bersama suami. Di tahun sebelumnya, tepat saat Ramadan pula kami merencanakan lamaran yang alhamdulillah terselenggara di bulan Syawal. Gak menyangka, perjalanan mudik saya kemarin tidak lagi ditemani Bapak, Ibu, dan adik saya, tapi sudah berdua saja dengan suami.
Perjalanan mudik kami rencanakan jauh-jauh hari, mengingat kami sangat bergantung pada kereta api dikarenakan jarak yang cukup jauh. Surabaya – Kediri – Kebumen – Bandung (PP). Bukan rute yang dekat, bukan? Berburu tiket mudik sudah kami lakukan dari 90 hari sebelumnya meskipun tentu saja THR belum nampak hilalnya. Alhamdulillah masih bisa diselamatkan saving bulanan, meskipun harga tiket lebaran itu duuuhh mahaallnya.
Saya sering mendengar kalau mereka yang punya kampung halaman selalu excited saat Lebaran tiba karena ini saatnya mereka pulang ke rumah dan bertemu keluarga yang membesarkan mereka. Mereka yang gak punya kampung halaman alias tinggal disitu situ aja kadang suka iri sama yang mudik. Ngebayangin serunya roadtrip, naik kereta, bus, kapal, sampe pesawat udah kayak liburan. Apalagi liburnya cukup panjang yakan, kayaknya seru. Yaa iyaasih seru. Seru ngumpulin duitnya buat ongkos, bensin, dan oleh-oleh wajib 🤣🤣🤣.
Bayangin aja saya dan suami mengunjungi 3 kota wajib plus beberapa kota tambahan untuk mengunjungi sodara dekat. Harga tiket transport itu pada ngelunjak gengsss kalau Lebaran. Terus ga mungkin kan kita cuma bawa tangan kosong. Apalagi kalau keluarga di kampung cukup banyak, makan oleh-oleh itu jadi salah satu yang paling ditunggu saat momen kumpul keluarga.
Tentang Merawat Keluarga
“Kenapa sih kita sampe ngebela-belain mudik?”
Pertanyaan itu selalu saya tanyakan meskipun sebenernya ga usah dijawab kita pun tau jawabannya. Mudik itu pilihan, gak wajib. Tapi kenapa sampe kita sempat-sempatkan? Rela macet-macetan belasan jam di jalan? Ketemu keluarga kan bisa kapan-kapan?
Suami saya pernah berujar bahwa saat kita dewasa, kita punya tanggung jawab lebih besar untuk merawat keluarga. Dulu mereka yang merawat kita hingga dewasa, nanti giliran kita yang akan membersamai masa-masa tua mereka. Mereka punya jasa besar telah membesarkan kita, mengenalkan kita kepada nilai-nilai kebaikan, mengajarkan kedisiplinan, kerja keras, kesabaran.
Kalau sekarang kita suka sambat gegara pusing mikirin biaya keluarga, perencanaan sekolah anak dll, ya dulu orang tua kita juga gitu. Bahkan mungkin keadaannya lebih sulit lagi. Tapi mereka bertahan. Mereka bertahan sampai kita sekarang bisa mandiri, bisa jadi orang yang bermanfaat di masyarakat.
Bersyukurlah kita yang masih punya orang tua dan sodara-sodara yang baik. Mereka punya hak atas diri kita.
Saya bukan tipikal family woman, karena saya sudah sering mbolang dari SMA. Urusan dengan orang tua terkadang cenderung transaksional. Tapi semakin dewasa, apalagi saat saya mau menikah waktu itu, rasanya ada perasaan yang gak bisa diungkapkan saat saya izin ke orang tua untuk merantau (lagi) bersama suami.
Saya dan keluarga jaraaaaang banget yang namanya sayang-sayangan. Atau mengekspresikan rasa cinta gitu-gitu (padahal nama saya Cinta yah 😅). Entah karena gengsi atau gimana. Tapi di saat itu, saya benar-benar merasakan begitu besarnya rasa cinta dan sayangnya Bapak, Ibu, dan adik saya saat akan menikahkan saya. Rasa yang begitu dalam. Rasa yang entah bagaimana bikin saya jadi rindu rumah di Bandung.
Mungkin benar ya kata orang, semakin dewasa kita akan dipaksa menghadapi realita-realita. Kedua orang tua kita akan semakin menua. Tanggung jawab kita juga akan semakin bertambah. Kitalah yang akan merawat mereka di hari tua kelak. Anak-anak kita yang akan menjadi qurrota’ayun dan penghibur dikala mereka kesepian.
Saya dan suami masih sangat sangat beruntung. Kedua orang tua kami masih ada dan masih produktif. Meskipun tak bisa kami pungkiri, usia gak bisa dibohongi. Kemampuan fisik orang tua kami mulai menurun. Bapak saya tak lagi bisa single-driving lebih dari 10 jam. Ibu saya meskipun masih mengajar dan selalu nampak enerjik, sudah sering mengeluh kakinya pegal-pegal. Ibu mertua saya pun demikian. Bapak mertua saya meskipun masih rajin bertani, butuh beberapa kali istirahat saat menggarap sawahnya.
Kadang saya merenung, mungkin inilah bukti fananya dunia. Dia punya batas waktu. Punya siklus. Manusia yang dulu muda, akan jadi tua. Kulit yang dulu segar, mulai menipis dan mengeriput. Otot yang tegar mulai menunjukkan kelemahannya. Semua ini niscaya, akan terjadi kepada kita semua. Saya jadi mikir, dengan dunia yang sangat terbatas ini, what will I do differently? What truly matters in this world?
Jika 30-40 tahun lagi saya ada di posisi kedua orang kami, apakah hal yang akan kami lakukan? Bagaimana kondisi anak-anak kami? Apakah mereka akan tumbuh mandiri dan penuh tanggung jawab? Apakah mereka juga ingat dan peduli dengan kami? Bagaimana keadaan dunia di tahun itu? Apakah masih memungkinkan bagi kami membangun ikatan yang erat sebagai keluarga?
Being Mindful & Present
Jujur saja, momen bertemu keluarga itu gak semuanya menyenangkan. Apalagi saya dan suami baru menikah 6 bulan yang lalu. Sudah pasti ditanya ini-itu, bahkan melebihi pertanyaan saat kami masih sama-sama single. Beneran deh buat yang kebelet kawin nih ya, menikah itu bukan akhir dari pertanyaan “KAPAN” hahahaha.
Saya sebenernya selow ditanya pertanyaan apapun, tapi entah kenapa internet memviralkan pertanyaan-pertanyaan “kapan” dan ungkapan-ungkapan berbau fisik seperti “sekarang gendutan atau kurusan” itu sepertinya lebih kasar dari ngomong “aing hayang dahar ai sia”. Ya emang sih kalau kita ditanya hal yang kayak gitu rasanya gak enak ya, istilahnya kayak gak ada topik obrolan lain aja yang lebih berbobot dan berfaedah.
Tapi beneran deh, mungkin emang gak ada.
Maksudnya gini. Keluarga itu kan heterogen. Mereka berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ada orang kota, ada orang kabupaten, (ada orang luar negeri juga mungkin). Budaya ‘banyak anak banyak rejeki’ membuat kita dilahirkan dari sebuah keluarga kesebelasan, dimana mereka pun akrab dengan sepupu-sepupu mereka yang juga berasal dari keluarga kesebelasan. Kita, sepersekian partikel dari keluarga ini kadang gak benar-benar mengenal satu sama lain. Nama aja kadang lupa, kecuali sepupu-sepupu yang memang dekat dengan kita.
Mereka yang dekat pun, gak berasal dari habitat yang sama. Bisa kebayang kan, bingungnya mencari topik obrolan yang menarik dan berbobot, yang kita sama-sama bisa relate. Mau ngobrol topik paling receh seputar dunia Youtube juga gak semua sodara saya pada nonton Youtube. Mau ngobrolin make-up dan skin-care yang kece, olshop yang hits, lahh banyak sodara saya yang gak update sama hal gituan.
Akhirnya topik-topik yang diperbincangkan gak akan jauh dari: pekerjaan (itupun cuma dipermukaan), pendidikan (“ooh sekarang udah kuliah yaa? Kuliah dimana?” Semacam gitu doang), dan yaaa dunia seputar fisik dan keluarga (anak udah berapa, tinggal dimana, betah apa engga, sekarang kok gendutan, gitu-gitu).
Walaupun begitu, saya banyak belajar loh dari cerita-cerita keluarga.
Gegara ngomongin keluarga, saya jadi tau gosip-gosip internal, siapa keluarga saya yang lagi pacaran dan merencanakan pernikahan. Siapa yang ternyata udah sukses bikin ini itu dan siapa yang punya pengalaman gagal juga. Siapa yang ternyata punya cobaan hidup begitu berat, tapi anak-anaknya sukses disana-sini. Banyak banget cerita-cerita inspiratif yang ternyata bersumber dari kesebelasan antar keluarga yang gak banyak saya atau Ibu saya tau, kalau gak sowan dan gak ngobrol dengan mereka.
Begitupun dengan keluarga suami.
Awalnya saya sangat sungkan dengan mereka. Apalagi keluarga suami ini 99% berbahasa Jawa-Kediri, yang saya banyak gak ngertinya. Saat saya ngomong dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar, terdengar seperti bule yang lagi ngomong English di depan orang-orang Indo. Bahkan ibu mertua saya kadang lebih suka pakai bahasa tubuh kalau saya bingung dia ngomong apa, ketimbang bahasa Indonesia 😁.
Beneran gengs, abis ini kayanya saya harus belajar bahasa Jawa. Gak enak banget rasanya saat mereka cerita ini-itu saya gak bener-bener ngerti maksudnya apa, kalau suami gak bantu translate. Apalagi mereka itu orang-orang baik, kayanya mereka juga tertarik pengen ngobrol banyak sama saya tapi juga bingung mau gimana karena mereka gak terbiasa ngobrol chantique dengan bahasa Indonesia murni.
Tapi alhamdulillah, mudik kali ini membuat saya sedikit lebih gak sungkan dengan mereka. Suami juga banyak membantu saya karena dia tau saya orangnya sungkanan. Lebaran ini kami pun banyak bertukar cerita seputar keluarga masing-masing, yang belum pernah kita tau pas pacaran.
Saya jadi belajar bahwa setiap keluarga itu emang unik. Karakter mereka gak bisa dipukul rata. Meskipun demikian, keluarga tetaplah keluarga. Merekalah orang-orang pertama, the VVIP yang akan selalu ada buat kita, dan peduli dengan kita 💖.
Duh, nulis ini jadi kangen mereka coba :’).
Terima kasih ya Allah, atas segala berkah dan nikmat yang Engkau berikan kepada kami, segala perjalanan penuh hikmah, semua kisah-kisah inspirasi yang insyaAllah akan menjadi bahan bakar kami untuk berusaha semakin giat dan semakin rajin beribadah.
Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan berada dalam lindungan-Nya, hingga bertemu kembali dengan Ramadan di tahun berikutnya. Aaamiiin Yaa Rabbal’alamiin.
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Shiyamana wa shiyamakum.
Minal ‘aidin wal faidzin ya gengs!!! ***
Comments (2)
ditasays:
June 29, 2019 at 4:02 pmseru ya cerita mudiknya.
saya tuh dari jaman kecil selalu pengen mudik/berlibur ke rumah nenek di desa gitu, yang ada sawah sama kali yang bersih. tapi apa daya orang tua bapak & ibu saya nggak ada yang tinggal di desa.
akhirnya jadi gitu-gitu doang kalo mudik. kurang sip lah. hihihihi
Bang Daysays:
June 30, 2019 at 4:13 pmbarakallah mudiknya sudah bersama kekasih hati.
mudik emang naluriah banget bagi kita