Catatan Cinta #2

Tulisan ini didedikasikan bagi seorang Cinta yang ingin selalu bertumbuh walau kadang rapuh.

Satu hari sebelum saya beranjak 29 tahun, saya berekesempatan untuk menjadi host Instagram Live di akun kantor saya, PARADIGM. Pembicara yang saya ajak berbincang adalah Coach Roma Tampubolon, seorang praktisi Human Resources yang sudah berpengalaman selama lebih dari 10 tahun. Beliau juga merupakan Founder dari Strength.id, dan juga sudah tersertifikasi sebagai Strength Coach dari Gallup. Topik obrolan kami adalah tentang “Membangun Potensi Diri dan Performa Kerja”.

Tentang Potensi

Dari obrolan selama kurang lebih 60 menit itu, ada satu pernyataan yang melekat kuat di pikiran saya. Menurut Coach Roma, mengenal dan membangun potensi diri itu adalah sebuah tahapan proses. Tahapan pertama beliau sebut dengan fase unconsciously incompetent, yang bermakna kalau kita itu gak sadar betapa kita gak kompeten. Disini peran self-awareness kita yang akan mempengaruhi seberapa “ngeh” atau sadarnya kita terhadap kualitas diri berbanding dengan rata-rata kolega kita atau standart yang ditetapkan untuk sebuah pekerjaan.

Tahapan kedua, adalah consciously incompetent. Yaitu fase dimana kita berubah dari yang awalnya gak sadar, menjadi sadar bahwa sesungguhnya kualitas kompetensi kita masih jauh dari standart atau rata-rata. Di tahapan ini, mungkin kita merasakan perasaan tertinggal, merasa tidak nyaman dengan keterbatasan kemampuan pemecahan masalah, atau evaluasi dari pihak lain dari kinerja kita. Perasaan ini kemudian membawa kita bangkit untuk meningkatkan kapasitas belajar kita agar kita bisa mencapai standart yang diharapkan.

Tahapan ketiga menurut Coach Roma adalah consciously competent. Setelah berjibaku dengan sekian jam pendidikan dan pelatihan, coaching dan mentoring, akhirnya kita bisa mencapai standart kompetensi tertentu. Di tahapan itu, kita sadar bahwa usaha yang kita lakukan mentransformasi kita menjadi sosok yang baru, sosok yang awalnya gak kompeten menjadi kompeten. Ketika ada project atau masalah yang datang, kita sadar bahwa kemampuan kita sudah mumpuni untuk menyelesaikannya.

Tahapan keempat dan yang tertinggi adalah unconsciously competent. Banyak juga orang yang menyebut tahapan ini sebagai impostor syndrome. Di tahapan ini, seseorang mungkin tidak sadar betapa jagonya dia dalam melakukan sesuatu. Biasanya dia baru sadar ketika ada pihak lain yang mengapresiasi kinerja kita dengan tinggi, padahal kita merasa biasa-biasa saja, atau bahkan kita masih merasa banyak ruang untuk perbaikan.

Perbincangan dengan Bang Roma malam itu membuat saya merefleksi diri, betapa tidak sadarnya saya terhadap inkompetensi yang saya miliki. Saya tidak takabur, saya juga sadar kompetensi-kompetensi yang sudah saya miliki dan permasalahan seperti apa yang sudah bisa saya handle di kantor atau di rumah. Namun perasaan being incompetent ini membuat saya ingin bangkit dari kondisi saya yang sekarang.

Refleksi Diri

Di usia menuju kepala tiga, tentu bukan waktu yang tepat untuk bermain-main dengan pilihan hidup yang strategis. Kalau kata Jack Ma, idealnya usia 30an itu kita benar-benar fokus membangun apa yang ingin kita bangun, be it career, family, relationship, etc. Meskipun saya pribadi sepakat bahwa faktor usia bukan satu-satunya faktor penentu kesuksesan, namun pernyataan Jack Ma saya rasa ada benarnya.

Moment ulang tahun kemarin membuat saya kembali melihat diri saya. Mau kemana ke depannya, mau seperti apa nantinya. Bukan sebuah topik yang menarik dibahas di tahun dimana pandemi merebak dan prediksi bencana besar dipublikasi di media. Ingin rasanya mengeluh, teriak dan memaki tahun ini, tapi bukankah Allah SWT selalu memberikan ujian dan kesempatan? Bukankah usaha memang harus berbanding lurus dengan tawakkal?

Jadi saya rasa, terlepas dari betapa buruknya kita memandang 2020, bagi saya tahun ini tetaplah berharga. Tahun ini memang “menampar” kita semua dengan realitas yang pedas dan keras, bahwa gak semua orang ternyata sebijak itu. Gak semua orang bisa patuh terhadap protokol kesehatan, bahkan teman dan saudara kita yang paling terdidik dan paling mampu secara ekonomi. Bahwa delaying gratification adalah sebuah ujian yang tersulit bagi makhluk hidup bernama manusia.

Dengan tekad yang bulat dan keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT selalu menjaga hamba-hamba-Nya yang mengingat-Nya dalam pagi dan malam, saya ingin tetap berharap. Saya ingin tetap making my wish, meskipun saya gak tau bagaimana the rest of 2020 will be dan gimana juga tahun-tahun berikutnya akan berubah setelah pandemi berakhir. Saya ingin tetap berharap, bermimpi, dan berusaha. Sisanya biarkan Allah SWT yang memainkan perannya.

The Uncountable Blessings

Tahun ini, saya bersyukur bahwa saya dan keluarga dalam keadaan yang generally sehat. Kesehatan memang mahal, dan jarang kita syukuri kalau kita belum terbaring lemah karena sakit. Oleh karena itu, saya gak akan pernah menyepelekan kata “sehat”, karena uang bermilyar-milyar sekalipun gak ada bahagianya juga kita nikmati kalau kita gak sehat, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Saya juga bersyukur bahwa saya bisa bertahan sejauh ini di tengah pandemi. Tidak banyak yang seberuntung saya, bisa bekerja di rumah meskipun penghasilan sempat tersendat di awal masa pandemi. Saya bersyukur, suami saya menjadi teman yang terbaik melawan segala anxiety dan kesulitan yang kami alami. Saya bersyukur melihat perkembangan kualitas diri dan cara pandangnya yang ikut bertumbuh. Dalam hubungan kami yang berbasis kesetaraan, saya sangat bersyukur kita ada di posisi yang sama-sama bisa saling mengerti, memahami, dan mencintai.

Selain itu, saya juga bersyukur karena saya masih memegang komitmen gak makan snack-snack dan mie instan yang kadar natriumnya tinggi selama hampir dua tahun.

Saya juga bersyukur, tahun ini bisa kembali belajar bahasa Korea bersama native sonsaengnim dan teman-teman yang baik-baik. Meskipun saya harus merogoh kocek yang gak sedikit setiap bulan dan harus merasakan stress di akhir bulan karena materi ujian yang banyak, saya bersyukur bisa merasakan perasaan “goblok” saat belajar sesuatu hal yang benar-benar asing hehehe. Oh dan yes, keinginan terpendam selama 10 tahun ini akhirnya terwujud 🙂

Saya bersyukur tahun ini dipercaya oleh kantor saya untuk menjadi Trainer dan mengisi materi yang saya minati. Kesempatan ini membuat saya semakin sadar betapa kurangnya diri saya, namun di satu sisi membuat saya alert untuk terus dan terus belajar. Gak naif ya, saya juga senang membaca review-review tulus dari para peserta kelas yang saya ajar. Review itu membuat saya sadar terhadap level kompetensi saya, dan semangat untuk perbaikan diri biar makin cakep lagi hehehe.

What I Need to Fix and Improve

Namun, saya juga punya beberapa hal yang ingin saya perbaiki. Salah satunya adalah kualitas kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Saya merasa kebugaran saya menurun, terutama setelah enam bulan lebih working from home. Saya juga masih belum bisa menyelesaikan masalah weather anxiety yang saya alami karena trauma waktu di Surabaya dulu. Dan secara spiritual, saya belum bisa konsisten ikut kajian, membaca literatur Islam, dan melakukan sholat Dhuha/Tahajud.

Saya juga ingin mempersiapkan diri, jika Allah memberikan amanah seorang anak kepada saya dan suami, agar saya bisa siap mengembannya dengan penuh kesadaran dan kesiapan. I know that we will never be ready to be a parent, tapi seenggaknya, secara mental, saya sudah siap bertransisi menjadi seorang ibu bagi anak saya kelak.

Kalau rezeki kan katanya udah diatur ya (selama ortunya mengusahakan, ofc), jadi saya gak mau overthinking lagi deh hehehe. Toh kami berdua sudah lebih berbenah secara finansial dan kami percaya diri terhadap blueprint yang sudah kami buat. Jadi bismillah aja, selama konsisten ngejalanin blueprint-nya, gak usah takut…begitu kata Financial Planner yang kami dengar.

Jadi, apa harapan seorang Cinta di twenty nine my age ini?

1. Overall Health

Pertama, saya ingin lebih memperbaiki aspek kesehatan dulu. Kesehatan ini gak cuma fisik ya, tapi juga mental dan spiritual. Mens sana in corpore sano lah intinya. Pengen lebih seimbang mengatur semuanya. Pengen lebih konsisten meditasi dan olahraga. Gak mau ngoyo ya tentu saja karena ngoyo bukan gayaku.

Yang penting setiap hari 10 menit meditasi, 30 menit jogging dan running, diselingin badminton dan yoga. Udah cukup lah ga usah ribet. Yang penting mulai dan rajin aja. Mau pake gym dan renang di apt masih agak was-was soalnya. Pengen juga 10.000 steps a day sih, tapi entahlah, pedestrian di sekitar apt ini masih jelek soalnya. Masa muter-muter di taman mulu wkwkwk. Semoga sebelum Pilkada ini ada perbaikan wehehehhe~

Selain olahraga, saya juga ingin mengubah pola makan saya yang masih belum bisa lepas dari gula. Saya gak mau bermimpi tinggi sih (belum berani lebih tepatnya ehehehe) buat sugar-free, tapi pengen ngebatasin sugar intake aja. Ingin perlahan-lahan mengonsumsi lebih banyak karbohidrat kompleks.

Saya sudah banyak membaca literatur tentang eating clean dari tahun 2018, jadi sebetulnya saya udah tau harus gimana. Cuma bikin action plan-nya aja masih ngadat, jadilah belum konsisten. Do’akan yaa..semoga saya bisa semakin konsisten ke depannya 🙂

Saya juga ingin mengurangi anxiety saya dengan lebih banyak…membaca. Katanya, membaca itu mengurangi anxiety sampe 70%. Dan membaca bikin pikiran kita menjelajah ke hal-hal lain, jadi gak fokus di anxiety kita yang circling disitu-situ bae. Juga ingin konsisten untuk bangun lebih pagi untuk Tahajud supaya lebih percaya diri sama rencana-rencana hidup, karena ada Allah SWT yang menjaganya.

2. Hunger to Learn

Kedua, saya ingin lebih agresif belajar. Saya ini tipe dominan, gak bisa bener-bener belajar kalau gak dipaksa. Itulah kenapa saya memutuskan les bahasa Korea yang biayanya gak sedikit. Biar jelas gitu improve-nya kemana.

Kok gak otodidak? Ya bisa aja sih..tapi saya gak munafik kalau saya ini orang sibuk hahahahahaha. Saya tuh banyak mau, jadi selain ngerjain tugas kantor yang projectnya juga gak sedikit, saya juga ikut komunitas. Di luar itu, saya juga punya rencana pengembangan diri yang ingin saya achieve juga. Jadi kalau belajar bahasa Korea cuma ngandelin Duolingo, saya gak akan benar-benar improve.

Saya juga orangnya gak sabaran tapi gampang menyerah. Saya pengen cepet bisa menguasai sesuatu, tapi kalau udah stuck…itu gampang banget nyerah. Belajar lewat aplikasi emang mudah, tapi kalau bingung “kok ini cara ngomongnya gini, kok grammarnya gini” dll itu bikin sakit kepala. Alhasil, belajar gak lagi jadi proses yang menyenangkan. Ujung-ujungnya, Duolingo kirim pesan “it seems that our reminder is not working.” Hiks, maafkan.

Setelah les, perasaan gampang menyerah itu bisa saya kendalikan. Pertama, saya bisa langsung bertanya kepada ssaem atau teman-teman yang lebih jago. Kedua, saya ingat banyaknya rupiah yang saya investasikan, yang bisa saja saya belikan setelan Wearing Klamby atau Heaven Lights tiap bulannya. Jadi, harus benar-benar saya manfaatkan banget fasilitas belajarnya dan jangan sampe gak lulus ujian.

Sifat gak sabaran saya juga perlahan berkurang, karena setelah saya belajar lebih dalam, saya sadar betapa jauhnya saya dari fluency yang saya harapkan hehehe. Emang semuanya butuh waktu yang gak sebentar yak #NoyorDiriSendiri.

Oya, saya juga berencana ingin meningkatkan kapasitas karier saya ke level yang lebih tinggi. Ingin ambil sertifikasi, tapi sekarang masih nabung dulu. Nabung ilmu dan nabung fulusnya hehehe. Semoga ada jalan rezekinya, supaya saya bisa lebih capable di bidang karier yang insya Allah jadi lahan pahala jariyah saya ke depannya.

3. Mastering the Art of Slowing Down

Ketiga, saya sejujurnya ingin lebih chill dan slowing down. Oh why? Bukannya seiring bertambahnya target dan wishes, harusnya makin berlari kencang yaa buat ngejar itu semua?

Itu yang saya pikirkan dulu. Kalau mau mencapai A-Z, ya harus kenceng larinya. Belakangan ini, saya membaca buku The Things You Can See Only When You Slow Down, ada kutipan yang berbicara seperti ini:

“What makes music beautiful is the distance between one note and another. What makes speech eloquent is the appropriate pause between words. From time to time we should take a breath and notice the silence between sounds.

Saya ini tipikal orang yang kalau kerja pengennya cepet beres. Saya anti multitasking. Apa yang ada di depan mata, bakalan cepet saya selesaikan. Begitu juga kalau ada request atau masalah dari tim, saya akan langsung selesaikan hari itu juga jika mungkin. Semua orang di kantor tahu kalau saya pasti akan membalas pesan mereka kurang dari 1 jam, bahkan kurang dari 30 menit (kecuali di luar jam kantor).

Saya juga hustle believer. Kalau gak hustle, gak kerja keras. Terus kenapa saya ingin lebih slow down? Seperti quotes dari Haenim Sunim tadi, saya ingin menikmati the pauses between the notes. Saya ingin menikmati silence between sounds. Karena untuk menjadi waras, kita perlu istirahat yang berkualitas agar bisa menikmati pekerjaan yang selama ini kita cintai.

Alhamdulillah, selama beberapa bulan ke belakang, saya dan suami sudah disiplin tidur lebih awal. Kami percaya the power of sleep to productivity, jadi kami gak mau ngorting jam tidur demi achieve sesuatu. I know that this will possibly change when we became a parent, but at least, we value our sleep as well as our productive hour. Semoga ketika nanti dikasih amanah jadi orang tua, kami bisa nemu strategi yang pas untuk mengaturnya.

Selain itu, slowing down menurut saya adalah meningkatkan kualitas pengaturan waktu dan prioritas. Supaya kita tetap punya waktu berkualitas untuk olahraga, ibadah, membaca dan menikmati cerita-cerita yang menarik (yes, I am a drama lover, but not a binge watcher :)) memang ada baiknya kita gak ngoyo. Karena kalau udah stress, akan lebih susah berhadapan dengan anger management dan meningkatkan creativity muscle saya.

Mungkin itu hal-hal yang menjadi wishes saya di Milad ke-29 ini. Oh ya, saya juga mau kasih tau sesuatu. Jadi, starting from this year, saya bangun sebuah kebiasaan baru: ngasih kado ke diri sendiri wkwk.

An Act of Self Love

I know that it’s very simple and everyone might have done it before, tapi saya itu tipikal yang gak pedulian sama ulang tahun. Padahal deep down ya happy kalau dikasih gift dari orang terdekat, kalau dikasih ucapan selamat dan do’a-do’a. Nah, pertanyaannya, kenapa sih saya mengharapkan itu dari pihak eksternal? Apa kabar pihak internal, yaitu diri saya sendiri? Kok gak ngucapin selamat sama diri sendiri?

Karena usia saya udah masuk usia mamak-mamak, jadi saya suka ngebayangin, gimana ya perasaan seorang ibu ketika melihat anaknya lahir dan menangis di pelukannya untuk pertama kalinya. Apalagi kalau anak tersebut udah ditunggu dari beberapa tahun lamanya. Pasti rasanya seneng bukan kepalang. Bahagia yang sampe bikin menitikkan air mata. Mungkin itu juga perasaan yang ibu saya rasakan saat melahirkan saya, setelah sebelumnya pernah keguguran.

Lahirnya saya ke dunia adalah sebuah kebahagiaan dan harapan bagi bapak dan ibu saya. Disisipkannya nama “Cinta” sebagai do’a. Nama yang akan melekat hingga saya dewasa dan tua. Nama yang senantiasa berdampingan dengan harapan yang menyala sedari saya masih di janin ibu saya. Betapa besarnya harapan dan do’a yang menyertai saya, tapi saya sendiri jarang memeluknya.

Mungkin orang bilang ini self love, ada benernya juga sih. Kalau orang lain saja mencintai kita dengan sebegitunya, kenapa kita gak mencintai diri sendiri dengan hebat?

Padahal setiap hari, kita yang menyertai diri kita sendiri. Kita yang love-hate relationship dengan diri sendiri. Kita yang mengajak diri sendiri berlari mengejar impian, bertahan di kala sulit dan patah arang, berjuang menerjang kehidupan. Si “dia” yang ada di dalam diri kita, yang menjadi harapan orang tua kita, yang Allah limpahkan rahmat dan rezekinya, adalah sosok yang luar biasa.

So, saya ingin memberikan kado bagi diri saya sendiri. Tahun ini, saya membeli hijab yang ingin banget saya beli tapi gak pernah saya beli. Simple sih, sebenernya juga bukan barang mahal hahhaa. Tapi karena pandemi, saya sama sekali gak beli baju, hijab, atau sepatu baru sama sekali. Jadi keputusan ini saya ambil karena saya pengen and since it’s my birthday, let’s take the moment to give myself a decent gift 🙂

Btw panjang bener ya tulisan ini hahahhaa..

Biarlah, suatu saat nanti tulisan ini yang akan mengingatkan saya sebagai sosok yang pernah menjadi inconscious incompetent menjadi conscious competent. Biarlah blog yang isinya gado-gado ini suatu saat nanti menjadi penyemangat saya untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dan lebih baik dari hari ini.

Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya mengutip salah satu ayat Al-Qur’an berikut:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka (selalu) berdo’a kepada Kami dengan berharap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ (dalam beribadah) [Al-Anbiyâ’/21: 90].

Happy birthday Cinta! (yang ultahnya deketan ama Hyun Bin) ***

Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *