Another Side of Working Hustle

Baru-baru ini saya mendapatkan cerita dari seorang Digital Strategist yang cukup dikenal kemampuannya dalam hal Digital & Social Media Optimization. Sebetulnya saya gak mengenalnya secara langsung. Saya mengetahui sosoknya dari seorang teman baik yang pernah membagikan tips & pemikiran bang Ray (sebut saja namanya yaa ehehe) yang rajin banget bikin #KultumDigital di IG Story.

Bagi saya yang masih banyak PR-nya buat mendalami bidang ini, #KultumDigital yang bang Ray share itu berguna banget buat nambah insight tersendiri di dunia digital yang cepeeet banget perkembangannya. Saking seringnya saya pantau IG Story dia yang cukup brutally honest tapi bikin mikir itu, story bang Ray pasti muncul di bagian paling kiri jadi kalau lagi scroll-scroll pasti ke-view juga 😁.

Nah, suatu hari..

Beliau menceritakan kondisi kesehatannya yang sedang kurang baik. Awalnya saya gak seberapa tertarik karena gak kenal-kenal amat kan, tapi belakangan saya jadi penasaran karena kondisi kesehatan tersebut dipengaruhi oleh pola kerja yang ia lakukan bertahun-tahun. Well, suka deg-degan gimanaaa gitu kalau tau ada “rekan” seprofesi yang sakit cukup kronis dan sebabnya (salah satunya) gegara gaya hidup yang ga baik saat bekerja.

Untuk lebih jelasnya gimana, bisa disimak cerita bang Ray di highlight Instagram story-nya ya. Hal yang ingin saya ceritakan adalah betapa sesama orang ahensi, saya juga pernah merasakan ada di tekanan yang cukup besar dan cukup mengacaukan ritme hidup (makan, istirahat/tidur, dll). Bahwa dunia per-ahensi-an (dan mungkin industri lainnya di luar sana) itu punya konsekuensi terhadap gaya hidup seperti apa yang kita adopsi saat bekerja.

Photo by Johnson Wang on Unsplash.

Permasalahannya ada pada seberapa tahan kita untuk survive?

Motivasi setiap orang dalam bekerja bisa beda-beda. Ada yang ingin belajar, ingin dapet income yang cukup untuk hidup, nyekolahin anak, foya-foya, bantu keluarga, dll. Sulit (but not impossible) untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang satisfying all aspects:  income oke, jam kerja oke, rekan kerja oke, leader/bos oke, lahan berkembang oke, dan dapet kebermaknaan berkarya yang oke juga. Khususnya buat dede-dede freshgrad yang ingin cepet dapet kerja, ya konsekuensinya apapun pekerjaan dan tempat bekerja yang kita pilih, harus kita tekuni betul, kalau gak mau susah upgrade ke depannya.

Nah ngomongin survival ini yang dilematis. Dari cerita bang Ray saya melihat perjuangannya untuk mendapatkan skill dan privilege yang dimilikinya saat ini itu cukup berat. Selain ditunjang kemampuan belajar mandiri yang tinggi, saya melihat bang Ray ini orang yang sangat totalitas dalam bekerja. Doing extra miles maybe an under-statement for him. Sekali handle project bisa belasan, belum lagi project-project pribadi di luar itu. Jam kerja? Ga usah ditanya. Kalau bisa gak tidur sampe 3 hari juga mungkin dia jabanin (eh iya gak bang? Hehe *peace*) Kalau sakit, sebisa mungkin diatasi secepat mungkin supaya bisa get back to work.

Dengan determinasi yang cukup tinggi namun fasilitas yang terbatas pada saat itu, bang Ray bisa melejit dan punya keahlian-keahlian ciamik yang sangat dicari dan dibutuhkan saat ini. Namun, buah dari keberhasilan itu ternyata harus dibayar oleh rasa sakit yang cukup menguras fisiknya (let alone the hospital bills, thanks to insurance company). Why?

Ya itu tadi, every industry ‘requires’ certain lifestyle to afford. Saya gak hendak mengeneralisir tentunya, karena tidak semua ahensi seperti apa kata @overheardahensi. Meskipun yaaa ga bisa dipungkiri, rata-rata ahensi yang saya temui memang punya jam kerja yang tinggi. Pola 9-5 atau 10-6 itu mitos banget. Bisa remote working sambil nyeruput es kelapa di Ubud juga bukan privilege yang bisa dimiliki semua orang. Lebih seringnya, lagi ijin kantor karena sakit bahkan harus hospitalized, atau ijin karena ngejenguk keluarga, pasti dititipin “nanti gue email briefnya ya”, atau “jangan lupa bikin konsepnya ya. Laptop dibawa kan?”

iyeee iyeee dibawaaaaa….
Photo by Neonbrand on Unsplash.

Let’s just be honest.

Who wants to be buzzed with emails and Whats-apps while enjoying your “me-time”? Who wants to be called while you’re exclusively making a date for your family or loved one, whom you met only once or twice a year? And who wants to be tagged in a group conversation when you are lying in your bed to recover from thypus, GERD, diarrhea, or any other illness? No one.

Tapi jujur, saya tuh termasuk orang yang gak bisa tenang kalau kerjaan belum beres, atau project lagi on-going. Tahun 2018 kemarin jadi salah satu tahun yang cukup berat karena harus nyiapin pernikahan dan ngerjain proyek besar dari kantor. Lebaran pun gak dinikmati sama sekali, karena mesti kirim email ini itu, koordinasi dengan vendor luar negeri (luar negeri loh yaaa, mind that time differences!), dan koordinasi lain-lain. Tapi ya gimana lagi bos, nikah emang mahaaaallll dan kita para victim generasi sandwich ini harus berani take a step buat handle semuanya.

Laaaaahh kok jadi curhat? Kwkwk.

Tenang, saya masih enjoy kok sama kerjaan saya (untungnya). I gained lot of learnings, new connections, dan alhamdulillah bisa bermanfaat. Tapi ya tetep, ngomongin perasaan, pikiran, dan keseimbangan jiwa…. yang namanya tertekan di waktu liburan itu gak enak ehehehe~.

Illustration of Darth Vader’s family 😁
Photo by Daniel Cheung on Unsplash.

You are replaceable, your time and family are not

This is a rather sad truth. Sayangnya, kalau kita kenapa-kenapa di pekerjaan kita, kalau kita sakit, cedera, atau extremenya celaka, perusahaan tinggal replace kita dengan orang lain. Apalagi di Indonesia dengan jumlah pelamar kerja dan angkatan muda yang tinggi, bukan hal sulit untuk cari orang baru. Meskipun kita bekerja habis-habisan untuk perusahaan, totalitas ini itu, we are still replaceable.

However, our family, our precious health and life are not.

Bayangkan bagaimana keluarga mengkhawatirkan kita, bahkan mungkin mengorbankan dana yang besar sampai kehilangan pekerjaan mereka demi bisa merawat kita. Apakah temen-temen kantor, bos, atau perusahaan akan bener-bener care that much? Silakan dijawab sendiri.

Sekalinya kita jatuh sakit, pasti yang rempong duluan adalah keluarga, sodara-sodara dekat atau sahabat. Mereka yang unconditionally willing to accept us, love us, and be there when we need them. Sebaik-baiknya perusahaan, hanya bisa cover insurance based on plafon masing-masing, itupun tergantung posisi kita saat itu. Dan faktanya, gak semua perusahaan memfasilitasi hal itu.

Is Lifestyle a Choice We Can Control?

I believe it is.

But it does takes a courage to dedicate yourself to that lifestyle.

Tired.
Photo by Pim Chu on Unsplash.

Saat saya bekerja di agency, saya biasa tidur jam 11 malam, maksimal banget jam 12. Tapi jarang banget lebih dari itu. Bagi rekan kerja saya, tidur saya ini kepagian. Teman-teman saya ada yang tidur jam 3 bahkan jam 4 pagi. Agak gak enak sih pas disindir seperti ini, tapi saya gak goyah, karena saya tahu gimana pola kerja terbaik saya.

Saat saya masih sering meng-handle events sembari bekerja, begadang itu udah biasa. Bahkan tidur cepet itu rasanya susah. Tapi kemudian beberapa tahun terakhir ini saya coba amati kualitas pekerjaan dan konsentrasi saya. Ternyata saya menemukan fakta kalau saya itu morning person: ide-ide, mood, semangat terbaik justru datang saat pagi hari. Mungkin kebiasaan dari jaman SMP-SMA saya udah banyak kegiatan di sekolah, jadi jam 9 udah tepar, bangun lagi jam 3 pagi buat belajar.

Ternyata semakin malam, fokus saya makin hilang. Semakin banyak hal yang harus dipikir, makin cepet ngantuk. Bagi penganut “sleeping is for the weak”, mungkin saya ini masuk golongan payah kali ya 🥴 . Ya emang sepayah itu saya kalau udah jam malam. Makanya itu, butuh tidur buat nge-recharge 🤪

Jadi saya udah bodo amat kalau dibilang payah, tidurnya cepet, dll. Kopi? Nah. Lambung saya iritiasi kalau disodokin kopi. Saya pernah pengalaman diare 3 hari penuh gegara begadang dan kopi dan akhirnya saya harus bedrest. Kerjaan mau gak mau nungguin saya sembuh dulu kan. Yaaa gak produktif juga jadinya. Udah gitu makin stress setelah sembuh, karena kerjaan numpuk dan ga bisa nunggu.

Eating clean, hopefully not eating fancy 😌
Photo by Travis Yewell on Unsplash.

Termasuk juga masalah gizi dan makanan. Ini yang sulit banget saya kontrol, karena sering banget saya makan di luar sambil ketemu klien atau meeting. Sebetulnya, bisa banget di-manage. Masak di rumah itu bukan mustahil, bisa banget. Saya dan teman sekosan saya rajin masak di kosan dan bekel ke kantor. Tapi ya itu, kadang ga eling. Kalau lagi sama-sama dikejar deadline dan ada event di luar, ya libur dulu ehehehe.

Thanks to technology, sekarang makanan sehat itu mudah banget dijangkau. Mau sayur dianterin ke rumah karena ribet ke pasar, sekarang udah bisa. Mau yang kualitasnya organik, vendornya udah menjamur dimana-mana. Bisa beli online lagi. Mau masak anti MSG, anti gluten, low fat, low sugar, no dairy, vegan-based, raw-based, itu bisa banget.

Tapi ya itu, kita harus MAU BELAJAR, MAU CARI TAU, dan intinya: jangan malas.

Yes, this is me, talking to myself.


Feature image by: Justin Veenema for Unsplash.

Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Comments (4)

  • Melina Sekarsarisays:

    May 18, 2019 at 12:34 pm

    Aku pernah bekerja di perusahaan kecil tapi lingkungannya nyaman. Rekan kerja baik, atasan galak tapi masih bisa diajak bicara, gaji cukup, bonus besar, tapi aku sangat tertekan dengan siapa kami bekerja. Government! Huahaha, birokrasinya, peraturan yang cuma tertulis semata prakteknya nol besar, kebijakan yang hampir tiap minggu berganti, jadi pusing dan tampak bodoh di hadapan klien karena hari ini kirim email A lalu besoknya B. Ya kan mengikuti kebijakan yang ada. Akhirnya, saya resign, huehehe …

    • Cintasays:

      May 24, 2019 at 6:07 am

      Wah iya mba saya pun pernah bekerjasama dengan Government, emang cukup menantang adrenalin yaa hehe. Sulit memang buat kerja yang ideal di segala aspek. Semoga setelah resign dapet tempat kerja yang lebih baik ya mbaa 🙂

  • Enny Ratnawatisays:

    May 26, 2019 at 3:51 pm

    aku setuju mbak..kerja dimanapun nggak ada yang ideal.ada ajaa sesuatunya. mulai teman kerja yang gak klop, bos galak sampai gaji yang rasa2nya udah gak pas buat kita hahahaha..
    intinya adaptasi aja dan banyak bersyukur. oh iya jgn lupa jaga kesehatan, krn kantor ya itu mudah bgt ngeganti kita loh yaa..hehehe..sebaik2nya tempat kita kembali adl keluarga

    #maapcurhat

    • Cintasays:

      May 27, 2019 at 5:00 am

      Yesss bersyukur adalah koentji! Kalau ga bersyukur stress ga ada ujung, padahal nikmat Allah itu ga cuma masalah gaji, ya kesehatan, ya keluarga yang supportif, teman-teman yang baik…itu nilainya tak terhingga kadang kita suka ‘take it for granted’ huhuhu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *