Survival

Konon katanya, survival adalah skill yang udah ada dari jaman manusia purba. Katanya, manusia sejati yang memenangkan pertarungan adalah mereka yang bisa bertahan alias survive. Kata-kata survive, kini terasa begitu berat……seperti beratnya beli rumah bagi para Milennials.

Siapa yang sangka, dua bulan ini hampir seluruh umat manusia di Bumi dihadapkan pada sebuah musibah. Gak tanggung-tanggung, yang menderita bukan hanya mereka yang terkena penyakitnya secara langsung, tapi semua orang yang ikut memutar roda ekonomi dunia. Wabah ini gak peduli profesi kamu, latar belakang ekonomi, agama, ras atau bangsa. One sneeze is enough to infect the whole nation.

I wish everyone can….and will not leave in hunger 🙁
(Image: Dee @ Copper and Wild)

I don’t want to talk about the virus. It’s hard enough to tell how it impacted many lives. Kayaknya setiap hari kita semua sampe jengah dengan berita yang ada di media massa. Rasanya ingin banget teriak, “Cukup coro! Cukupppp!!!” seperti Ani teriak kepada Rhoma. Ya, teriak teriak aja sih, asal gak kedengeran sama tetangga sebelah yang juga #dirumahaja.

Ngomong-ngomong tentang stay at home, saya dan Yeobo juga menjalani ritual WFH demi flatten the curve. Sebenernya ini bukan kali pertama saya kerja remote. Setahun di Surabaya juga saya kerja remote. Gak ke kantor sama sekali malah. Entah kenapa, masa-masa WFH bikin jam biologis agak gak karuan. Mungkin karena kita semua di kantor lagi tighten our belt, jadi bener-bener kerja mesti extra efficient dan extra tanggap biar bisa tetep rolling.

Tentu saya dan Yeobo bersyukur. Duh ngomongin syukur, gak ada habisnya. Kita gak mikir beli ini itu, bisa makan aja udah syukur banget. Setiap abis sholat jama’ah atau anytime kita ngobrol, kita belum kebayang rencana di masa depan gimana. Kita cuma mikir gimana bisa survive, dan bisa nolongin orang-orang yang terdampak semampu kita.

Beneran sampe segitunya. Biasanya, kita mikir rencana A, B, C, dll gimana. Kita mikirin timeline, mikir alternatif. Sekarang, mikir gimana kita bisa survive, keluarga tetep sehat gak kekurangan, dan mikir apa yang bisa kita lakukan dengan kemampuan kita yang terbatas. Sering juga kita sama-sama curhat, yaaa gimana enggak….tiap baca berita bawaannya pengen emosi!

Gak jarang juga saya mengeluh. Seperti WFH ini bikin rumah jadi gak bisa fokus buat keluarga aja, tapi juga semua urusan kerjaan mau gak mau kebawa-bawa sama urusan rumah tangga. Kalau lagi pusing urusan kerjaan, mood jadi gak bagus dan Yeobo kena juga. Yeobo juga sama, meskipun saya sih seneng denger dia curhat. Beda sih ya kalau cowok curhat sama cewek curhat. Pitchnya bikin ngilu kalau saya yang curhat 🤣

But again, kami selalu mengingatkan diri sendiri. Allah masih mengalirkan rejekinya kepada kami. Bekerja dari rumah adalah sebuah privilege di masa pandemik ini. Setiap kali saya buka laman Kitabisa, rasanya apa yang saya keluhkan GAK ADA APA-APANYA dibandingkan mereka yang berjuang dengan ujiannya masing-masing.

Bisa bekerja adalah sebuah privilege. Bahkan bisa makan dan masak di rumah, adalah sebuah privilege. Rasanya kalau lagi males kerja dan males masak, coba inget-inget kalau Allah bisa kapanpun mencabut nikmat ini dan rasanya pasti menderita sekali 😭

Emosi emang sulit dikontrol. Malas, kesal, jenuh, ngeluh…pasti ada. Yaudah diterima aja. Ditelen ajalah. Semua emosi itu valid kok. Gak ada yang ngerasa happy dengan pandemik ini anyways. Kata para psikolog, emosi itu harus diterima, jangan denial. Karena itu part of us of being human.

Oya, satu hal lagi yang saya syukuri. Selama April-Mei, saya dan Yeobo bikin inisiatif sosial kecil-kecilan, buat bantu adik angkatan dan beberapa teman kita yang terdampak COVID-19. Kita bikin mini-class, itung-itung sembari ngabuburit lah tiap weekend selama bulan Ramadhan. Alhamdulillah responnya cukup positif!

our mini initiative: 김치 클라쓰

Kami juga sangat terbantu dengan teman-teman kami yang pintar-pintar, profil professionalnya keren-keren…tapi gak pelit ilmu dan mau gerak pro-bono 😭😭 Yaa Lord Yaa Rabb, nikmat mana lagi yang hendak aku dustakan???!!

Jujur, awalnya saya dan Yeobo agak deg-degan karena konsep awalnya emang cuma pengen ngadain kajian online aja. Tapi karena kita denger banyak temen-temen yang terkena dampak gegara si Coro ini…, terus ada yang jualannya jadi susah..kok kita kayak ngerasa ini saatnya kita bantu dengan so called “passion”-nya kita di bidang pendidikan. Hamdallah, Allah membukakan hati teman-teman kami untuk bantu mengisi materinya. Semoga amal jariyah mengalir buat kalian semua heyyy temen-temen sholehkuuuuu 😘

Di balik kesulitan, pasti ada kemudahan. Kami yakin wabah ini mengajarkan kita sesuatu hal yang lebih besar. Mengingatkan kembali dengan makna kehidupan. Memaksa kita untuk membangun hubungan berkualitas dengan diri sendiri, dan orang-orang yang terdekat dengan kita.

Merenungi kembali hal-hal yang esensial, tentang berharganya kualitas udara yang baik, keleluasaan untuk bernafas dengan lega, waktu yang dimiliki bersama keluarga dan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk berkarya dan bermanfaat bagi sesama. Rasanya itu hal terpenting yang sering kali kita take it for granted. Dan hal itu semua, mahal sekali harganya di masa pandemik ini.

So, menjelang bulan Ramadhan ini, let’s all stay healthy! Saya, kamu, dan kita semua…pasti BISA SURVIVE. Yakinlah bahwa pandemik ini akan berakhir, cepat atau lambat. Kita punya Allah yang dengan kun fayakun-Nya bisa mengubah segalanya. The faith is real. The struggle is also real. Let us put our hand together to SURVIVE! ***

Feature image: Eric Mclean for Unsplash.




Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *