Breathe

누군가의 한숨 그 무거운 숨을
내가 어떻게 헤아릴 수가 있을까요
당신의 한숨 그 깊일 이해할 순 없겠지만
괜찮아요 내가 안아줄게요
정말 수고했어요

Someone’s breath. That heavy breath.
How can I see through that?
Though I can’t understand your breath.
It’s alright I’ll hold you.
You really did a good job. (Lee Hi – Breathe (한숨)

 

Bukan hal yang tidak biasa, jika di saat-saat seperti ini, perasaan kita tidak biasa-biasa aja. Bukan hal yang aneh, jika setiap hari ada saja berita-berita yang membuat kita meleleh. Sayangnya, bukan meleleh kegirangan. Meleleh mbrebes mili.

Sejatinya, kita sedang menghadapi sebuah perang melawan musuh yang tidak kelihatan. Hmm, gak juga sih. Ada juga musuh yang keliatan. Mereka yang berkeliaran tanpa masker atau pelindung diri, yang kita tidak tahu apakah mereka bergejala atau tidak. Harus diapakan orang-orang seperti ini? Peringatan sudah dibuat, informasi merajalela di TV, radio, dan sosial media.

Ah sudahlah.

Memang kita tidak bisa bergantung kepada orang lain. Kita hanya bisa memberi peringatan sebisa kita, ikut menegur, atau sengaja menjauh dari mereka yang tak peduli. Pandemi ini mengajarkan saya sebuah pil pahit: kita hanya bisa bergantung pada diri kita, dan Yang Maha Kuasa.

Bahkan ketika kita punya teman dan keluarga dekat, bagaimana jika mereka terpapar? Maka kita harus sigap membantu mereka. Lalu, bagaimana jika kita sendiri yang terpapar, di kala circle kita pun sedang berjuang mempertahankan hidupnya masing-masing? Siapakah yang akan sigap membantu kita?

Sekalipun kita tidak terpapar, bukankah menyesakkan saat membayangkan teman, saudara, keluarga, orang tua, pasangan, atau anak kita sendiri yang berjuang menguatkan diri dan meningkatkan saturasi.

Bukankah begitu menyesakkan saat melihat IG story berisi berita pencarian donor plasma konvalensen, hingga terburuk, berita duka cita dari mereka yang tidak kita sangka-sangka? Mereka yang kita kira, baik-baik saja. Mereka yang tahun lalu, berhasil melewati ujian pandemi dan beradaptasi dengan luar biasa.

Ini bisa terjadi pada siapa saja.

Tidak peduli kaya atau miskin. Muda atau tua. Orang terkenal, atau biasa-biasa saja. Memang kematian tidak mengenal batas usia, waktu, kondisi, atau situasi. Sulit rasanya menerima kenyataan bahwa negara yang saya percaya bisa bangkit ekonominya, ternyata harus mengalami keadaan yang lebih buruk dari negara asal pembawa varian Delta.

Ribuan orang telah pergi meninggalkan kita. Banyak dari mereka adalah tokoh-tokoh pengukir sejarah bangsa dan agama. Banyak dari mereka adalah tenaga-tenaga ahli langka dengan puluhan ribu jam terbang dan penghargaan. Banyak pula dari mereka yang meninggalkan kesan mendalam bagi keluarga dan orang-orang terdekat yang tak percaya, tahun ini menjadi kenangan sedih yang tidak akan pernah mereka lupakan.

Saya rasa, siapapun tidak bisa membenarkan bahwa kejadian ini adalah kejadian biasa-biasa saja. Hidup-mati memang alamiah dialami siapa saja, namun tetaplah…tidak ada yang biasa dari siklus hidup kita sebagai makhluk alam semesta. Ribuan nyawa menjadi korban, bukankah ini melebihi bencana alam dan perang sungguhan?

Hufft …..

Saya mengambil nafas panjang.

Saat itu, saya pejamkan mata saya dalam sebuah sesi shavasana. Musik yang diputar oleh teacher saya perlahan memudar. Entah mengapa, saya mulai berlinang air mata.

Saya tarik nafas saya perlahan.

Deep inhale. Long…exhale.

Deep inhale. Long…exhale.

Begitu nikmatnya melakukan pernafasan saat tubuh ini rileks setelah satu sesi latihan yang menenangkan. Udara pukul tujuh pagi yang masih segar, perlahan masuk melalui hidungku. Mengembang melalui dadaku. Dan perlahan, keluar dengan begitu hangat. Tanpa beban. Tanpa sesak.

Betapa nikmatnya, nafas yang saya rasakan. Betapa nikmatnya, nafas yang kita rasakan saat ini. Saat badan tidak meriang, saat kepala tidak terbebani oleh apapun. Saat tidak ada dahak atau ingus yang menyumbat. Saat tidak ada batuk yang mengetuk dan menggelitik rongga-rongga tenggorokkan.

Betapa nikmatnya, nafas yang kita rasakan. Saat tak ada anggota tubuh yang kesakitan. Saat kita berada di tempat yang aman. Saat tidak ada desakan dari lambung untuk mengeluarkan apapun yang ada di dalamnya. Saat nafas ini bisa keluar masuk, dengan nyaman, tanpa beban.

Nafas yang kita hirup, adalah privilege bagi mereka yang saat ini berjuang di ranjang-ranjang rumah sakit hingga tenda darurat. Nafas yang kita hirup, adalah privilege bagi mereka yang harus dibantu oleh selang oksigen dan tangan-tangan para pejuang kesehatan yang ikhlas bekerja dengan taruhan nyawa. Nafas yang kita hirup, adalah privilege bagi para penyintas.

Saat bernafas menjadi sebuah tantangan, apa yang kita miliki di dunia menjadi tidak relevan. Rumah dan mobil mewah, pendapat orang lain terhadap diri kita, tahta dan posisi tinggi yang kita capai di tempat bekerja…tak ada yang bisa membeli kenikmatan nafas yang kita rasakan.

Begitulah kita, manusia.

Terkadang kita lupa…

Bahwa nafas ini adalah sebuah kenikmatan luar biasa. Sebuah mekanisme yang Allah ciptakan untuk bergerak secara konsisten, dan setia menemani di sepanjang hayat kita. Kita lupa, bahwa nafas kita tidak berhenti sekalipun kita sedang menghadapi sebuah ujian yang memberatkan diri. Kita lupa, bahwa nafas senantiasa bekerja, meskipun kita sedang mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan rasa.

Kita lupa, bahwa suatu saat nanti…nafas ini akan meninggalkan tubuh kita. Bahwa betapa nikmatnya nafas yang kita rasakan saat ini, yang membuat kita bisa melakukan apa saja – entah kita memutuskan untuk menjadi manusia yang bermanfaat ataukah tidak.

Deep inhale. Long….exhale.

Perlahan, air mata saya tumpah.

Saya, manusia serakah, yang sering lupa bahwa tiap detiknya, Allah memberi saya kesempatan untuk berubah, berbenah, dan beribadah. Bahwa nafas ini setia menemani perjalanan hidup saya. Saat saya merasa sedih dan susah, bernafas dengan dalam dan perlahan, menjadi first aid bagi saya.

Saya jarang berterima kasih pada-Nya, karena telah memberikan saya nafas – teman yang setia – yang menenangkan saya saat saya cemas, dan memberikan energi pada hari-hari yang saya lalui. Nafas, yang menjadi sebuah hal yang layak diperjuangkan. Sesuatu yang membuat kita kaya, meskipun minim harta dan tahta.

Deep inhale. Long… exhale.

Saya menggerakkan sedikit jari-jari tangan dan kaki saya. Perlahan, saya gerakkan badan saya ke arah kanan, lalu bangkit kembali dengan mata yang masih terpejam. Saya mengakhiri sesi yoga dengan sebuah do’a:

“Yaa Allah Yaa Tuhanku, Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Terima kasih atas nikmat kekayaan luar biasa yang Engkau berikan kepadaku. Ampunilah hamba-Mu yang masih lemah dan rapuh ini. Izinkanlah aku, keluargaku, sodara-sodaraku sebangsa dan setanah air, untuk bernafas dengan nyaman, dengan tenang. Izinkan kami untuk menghidupi nafas kami, untuk menjalani hidup yang benar-benar hidup dan berarti.” Aaamiin… ***

Featuring Image: S. Migaj (Königssee, Schönau am Königssee, Germany)

Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Comments (1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *