Sebuah renungan…

Sudah lebih dari 4 bulan saya mengurangi interaksi di sosial media. Lebih tepatnya, gak sesering biasanya dalam bikin konten untuk akun pribadi, share foto atau sekedar story. Buka sosmed tetep, tapi gak pengen share apapun gitu.

Saya suka mikir, “does what I share matter?”

Semacam ada kegelisahan di dalam diri sendiri kalau sharing too much atau spammy ke orang. Karena jujur, saya meng-unfollow dan nge-mute beberapa akun yang saya rasa mengganggu. Saya gak segan-segan melakukan itu meskipun itu teman sendiri atau bahkan olshop kesayangan hahaha. Seriusan, semenjak pandemi saya unfollow beberapa olshop karena saya perlu cara yang radikal untuk mengontrol cashflow saya wkwk.

Selama 4 bulan ini juga saya berusaha untuk gak kepo-in hidup orang-orang yang ingin saya kepoin. Saya berusaha keras untuk itu, sekalipun ‘kedirian’ saya ingin banget ngepoin dia. Saya kritisi diri saya sendiri, “buat apa Cinta? Kalau kamu tau dia sekarang ngapain, lagi apa, ngerjain apa, menghasilkan apa, apa dampaknya untuk hidupmu?”

If the person doesn’t benefits me anything, don’t do it.

Kejam memang, kayak saya tuh nyari untung aja gitu ya ketika berhubungan dengan orang lain. No. Bukan itu maksudnya.

Belakangan ini saya disadarkan bahwa relevansi itu penting. Setiap saya membuka sosmed, secara gak langsung, saya ngasih makan untuk otak dan jiwa saya sendiri. Kalau yang saya konsumsi adalah hal-hal yang gak bermanfaat, ujung-ujungnya hanya akan menuh-menuhin ‘hard-disk’ di otak dan hati saya. Padahal ruang itu punya batasnya. Kita gak bisa fokus sama banyak hal di hidup kita.

Jadi, daripada menuh-menuhin dengan hal-hal yang menurut saya distrubing, atau gak sesuai value saya, atau gak giving any goods lah intinya. Ya buat apa. Mending diisi dengan hal-hal yang penting dan RELEVAN dengan apa yang saya lakukan. Dengan visi dan masa depan yang ingin kita hadirkan. Dengan orang-orang, nilai-nilai, yang relevan dengan diri kita.

Oh wait, gak semua sesuai sih.

Saya juga follow banyak akun yang punya pandangan berbeda dengan apa yang saya yakini. Saya gak mau living in my own bubble juga, meskipun ujung-ujungnya kita pasti akan pick sides on everything. Buat saya, berinteraksi dengan pandangan dan cara hidup yang berbeda itu membuat kita kaya secara lahir batin. Jadi, bukan berarti itu gak beneficial juga.

Nah terus gimana yang disturbing?

Saya gak suka sama yang namanya debat kusir hahaha. Meskipun saya ini debater, buat saya debat yang sehat itu harus ada platformnya. Seperti debat di acara TV, jelas kan acaranya gimana, siapa yang pro dan siapa yang kontra. Atau kompetisi misalnya. Jelas siapa yang tim government siapa yang opposition.

Menurut saya, too much debat tanpa platform yang jelas itu disturbing banget. Dan ini happening banget di sosmed. Kalau sekali dua kali, it’s okay lah ya, saya masih bisa consume just to know what’s happening. Tapi kalau keterusan, boy, mau debat sampe kapan? Can’t we just respect each other’s opinion? Bahkan memeluk agama-pun tak ada paksaan, why you need to push and make fun of others just to prove you’re right and better? Who you are to judge sih. Nah saya sekesel itu hahaha.

Inilah kenapa saya gak cocok jadi warga twitter wkwkwk.

Saya gak suka ngikutin twitwar. The only thing I consume from Twitter adalah memes, jokes receh, dan review film. Selebihnya, gak ikut-ikutan deh kalau ada debat sesimpel gegara bekelin suami aja mah. Ya Allah hidup susah amat sik. Mau ngasih bekel ke suami ya bagus. Suami bikin sendiri ya gapapa juga. Mau gofut tiap hari kalau mampu ya monggo. Gausah dibikin ribet lah, gender itu definisinya gak sesempit kotak bekel tupperware.

Bentar, kenapa jadi ngomongin bekel suami ya? wkwkwk.

Okay, comeback ngomongin relevansi.

Nah, selama 4 bulan ini, semenjak total WFH juga, saya lebih sering ngomong sama diri sendiri dan Yeobo (as we share the room every-single-minute- during this WFH thing). Selain meminimalisir dari guncangan emosi di masa pandemi yang bisa bikin imunitas menurun, saya pikir ini waktu yang tepat buat saya fokus terhadap sekeliling saya. Sama orang-orang yang dekat dan matter di hidup saya.

Seringkali yang sering kita lupakan adalah diri kita sendiri.

Jadi saya putuskan untuk gak banyak nge-sosmed. Gak sampe puasa sosmed sih, saya realistis aja (apalagi kerjaan saya juga di bidang digital). Saya juga batasi penggunaan HP, karena sekarang kerja bisa fokus interaksi di Slack. Efeknya lumayan, saya jadi sering banyak ngobrol berkualitas sama Yeobo. Mulai nulis-nulis di buku catatan lagi. Mulai lebih banyak membaca buku/artikel atau nonton Youtube yang udah saya list tapi gak pernah ditonton.

Banyak kegiatan offline yang saya nikmati. Entah kenapa, jadi lebih mudah bersyukur, karena kita gak terlalu tertarik dengan pencapaian orang lain atau apa yang dimiliki orang lain. Setiap pagi, Yeobo selalu nyetel radio dan kita selalu dengar morning news dari situ. Bisa disambi beres-beres, masak dan sarapan.

Setiap denger berita, semakin banyak kita merasa bahwa Allah begitu Maha Penyayangnya, masih memberikan nikmat rezeki kepada kita sekeluarga. Kitanya aja yang suka ingkar. Sholat tepat waktu aja susah, tapi harapannya selangit. Tahajud gak kekejar, Dhuha-pun gak diluangkan. Padahal kerja udah dari rumah. Oh manusia, bukankah ia makhluk yang tak pernah puas dan suka mengingkari nikmat-Nya?

Jujur, saya tipikal orang yang ambisius. Namun pandemi ini kayak memaksa saya untuk bersabar memprioritaskan apa yang prioritas. Saya seakan dipaksa menelan sebuah fakta kalau in times of uncertainty, anything can happen. Selain bergantung kepada Allah Yang Maha Kuasa, kita harus mampu bergantung sama diri sendiri. Harus kuat membangun fondasi diri dulu.

Inilah yang membuat saya berpikir, akankah saya bisa terus menjadi RELEVAN?

Karena saya bekerja di bidang digital, saya sering banget denger orang ngomong, “this is the best momentum for personal branding”, etc etc. My personal opinion: yes, it’s the best momentum kalau lu bisa menjadikan itu momentum. Now is only a moment, tapi gak akan jadi momentum kalau lu-nya belum ready.

You can make many contents yes, it’s personal choice. Again, to post and what to post juga buat saya itu tergantung masing-masing orang. Tapi saya percaya kalau apa yang kita tabur, akan kita tuai. Kalau personal value dan character kita belum jelas, yang ada kita gak dapet apa-apa juga (selain metrik-metrik digital yang kita kejar, maybe).

This is my personal opinion. Knowing yourself is very important. Set yourself a strong foundation is the most important.

Kadang saya jengah sama beberapa konten kreator yang punya views banyak, tapi menurut saya sok tau. Call me traditional if you want – tapi sebelum ngeshare sesuatu, memastikan apakah knowledge dan best practice yang kita share itu emang sesuai, paling enggak dengan apa yang pernah kita lakukan. Extramiles kalau disupport sama real data atau bahkan research.

Yes it’s true kalau kita gak mesti jadi “master” dulu sebelum share sesuatu. Who knows kan siapa yang terbantu dengan postingan kita. Yes, yes, true.

But again, as traditional as I might be, unless I have the capacity and competence, perhaps I won’t be as confidence as to share many things I do not understand. Saya gak pengen aja gitu, orang-orang yang terdampak sama apa yang saya share, yang supposedly mendapatkan benefit, malah jadi nambah bingung, nambah stress, atau ya sesimpel postingan saya cuma menuhin hard-disk mereka tanpa bermakna atau bermanfaat di hidup mereka.

Seperti yang saya bilang barusan, kalau saya sendiri selektif sama apa yang saya “makan”, kenapa saya sembarangan ngasih “makan” sama orang? Karena apapun yang kita share, akan jadi “makanan” otak dan jiwanya mereka kan.

Lalu lalu lalu… satu minggu ini kok kamu mulai microblogging sih Cin?

Itulah. Setelah 4 bulan, saya menemukan kalau saya harus menemukan sebuah cara supaya saya bisa “ngasih makan” diri sendiri dan orang lain dengan “makanan” yang sehat dan berkualitas. Kalau saya gak bikin konten, saya hanya akan “menyerap” gizi dari orang lain. Tapi saya gak ngasih apa-apa. It’s all for myself.

Plus, ibarat kita masakin makanan untuk orang lain, we tend to be very careful untuk milih bahan-bahannya. Masaknya gak asal-asalan, bahkan garam aja masukinnya dikit-dikit biar rasa-nya pas dan gak berlebihan. So, microblogging is actually a practice for me to be able to deliver a good content.

Saya gak mau bisanya bacot doang. As my career also dealing with professional development, saya juga harus bisa walk the talk, at least di tataran knowledge. Konsistensi upgrade diri, lebih banyak membaca because afterall, only good reader makes a good writer. Mungkin juga bisa disimpulkan, a good listener, makes a good story teller.

So, setelah 4 bulan ini (berapa kali ya saya ngulang kalimat ini wkwkwk), saya mau lebih ngepush diri saya untuk upgrade kualitas lewat microblogging ini. Saya ingin coba lebih bermanfaat dengan share things that matters, to others. Hopefully. Although, I still keep myself human ya hahaha (ya emang w manusia juga kannnn). Ya kadang ngeshare yang receh gapapa dong. Ngeshare review film gapapa dong. Orang juga butuh hiburan kan.

Begitulah renungan dalam sebuah tulisan yang tak berkaidah SEO ini. Ternyata lega ya, bisa nulis panjang, gak harus mikirin strukturnya gimana wkwkwk. Sekali sekali lah ya, namanya juga curhat di blog sendiri.***

Feature image: Rob Wingate from Unsplash.

Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *