Vaksinasi HPV
Jika kita sudah berusia minimal 12 tahun dan belum menikah, baiknya kita melindungi diri dari ancaman kanker serviks lewat vaksinasi HPV. Sebenarnya vaksin ini juga bisa diberikan kepada yang sudah menikah, dengan terlebih dulu menjalani test pap smear untuk mengecek kondisi kesehatan serviks kita.
Awalnya saya pikir vaksin HPV sifatnya “nice to have” aja, apalagi jenis vaksin ini harganya masih tergolong mahal dibandingkan vaksin-vaksin lainnya. Belum disubsidi pula. Saya merasa selama saya atau bebeb gak berganti-ganti pasangan, mestinya aman dong.
Saya semakin terdorong ketika salah seorang teman blogger mendapati cerita dari seorang kanker serviks survivor dimana beliau dan suaminya tergolong practice safe sex dan gak pernah aneh-aneh juga. Artinya, siapapun berpotensi terkena ancaman ini, regardless. Kabar baiknya, kanker serviks ini adalah satu-satunya kanker yang bisa dicegah dengan vaksin. Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Harga vaksin ini jelas ga ada apa-apanya dibandingkan dengan biaya perawatan dan pengobatan.
Vaksin HPV ini sejauh ini ada dua jenis: Gardasil dan Cervarix. Saya ambil vaksin Gardasil, karena biar sekalian melindungi dari kutil kelamin. Harga vaksin ini bervariasi di tiap Rumah Sakit, rata-rata di angka 1-1,2 juta per 1x vaksin (total vaksin ada 3x). Ada juga yang paketan di rata-rata 3,4 juta untuk 3x vaksin (ini asumsi tahun 2017 di Rumah Sakit swasta Jakarta – ada yang sudah termasuk biaya konsultasi dokter, ada yang belum).
Vaksin ini dilakukan bertahap, di bulan ke-0, bulan ke-2, dan bulan ke-6. Jadi misalnya kita ambil vaksin pertama di 30 Januari 2017, maka vaksin ke-2 dilakukan pada 30 Maret 2017 dan vaksin ke-3 dilakukan pada 30 Juli 2017. Plan idealnya, kita ambil vaksin ini sekitar 8-12 bulan sebelum menikah biar ga mepet dengan waktu persiapan pernikahan. Lebih bagus lagi kalau pas kita ada rezeki, ga usah nunggu planning nikah, langsung ambil aja 🙂
Kebetulan saya termasuk yang mepet-mepet ambilnya karena vaksin ke-3 saya sekitar satu minggu sebelum tanggal nikah 🙈. Sebenernya kalaupun sudah menikah pun masih bisa dilanjutkan, selama kita belum hamil. Tapi kalau ternyata udah ada janin, maka vaksinasi harus di-pause sampai bayi tersebut lahir dan kita pulih pasca melahirkan. Jadi alangkah lebih baik kalau kita udah selesai vaksin sebelum nikah, biar lebih plong waktu beribadah sama suami 🙂
Oya, alhamdulillah ketika saya vaksin kemarin, lagi ada diskon 🙂 Setelah hunting harga di beberapa RS dan klinik, saya mendapatkan referensi untuk vaksin di Rumah Vaksinasi dari teman yang kebetulan seorang bidan. Di RV, harganya 900 ribu untuk 1x vaksin (total 2,7 juta sudah termasuk konsultasi). Waktu saya daftar, pas lagi bulan-bulannya diskon jadinya saya cuma bayar 750 ribu untuk 1x vaksin. Biar bisa manfaatin diskonnya maksimal, saya langsung bayar lunas untuk 3x vaksin (total 2,25 juta + biaya administrasi).
Awalnya saya ragu beneran gak nih kok harganya beda jauh sama RS swasta. Tapi setelah dateng ke tempatnya yang super comfy, ngobrol sama dokternya yang ngejelasin dari awal kegunaan vaksin ga asal nyuntik doang, RV ini recommended banget. Saya tergolong orang yang cerewet kalau urusan sama dokter, jadi males kalau ketemu dokter yang to the point ngasih tindakan. Nah di RV ini dokternya baik banget, ngejelasinnya cukup detail dan ngejawab pertanyaan-pertanyaan kita. Nunggunya juga ga lama, ga sampe setengah jam karena by appointment. Palingan agak lama nungguin baby yang disuntik tapi ga lama-lama banget kok dan tempatnya gak penuh kayak nunggu di Poli.
Tips: follow akun Rumah Vaksinasi di Instagram, stay tune aja karena beberapa bulan sekali mereka ngadain promo di beberapa cabang. Mayan kaan hematnya sampe sejutaan dibandingin ke RS swasta 🙂
Prenuptial Agreement
Sejujurnya part ini saya agak miss, karena ga keburu ngurusnya. Walaupun begitu, tetep prenuptial agreement ini menurut saya penting dan must to have banget khususnya buat mengamankan aset masing-masing. Memang di Indonesia, prenup ini masih agak ‘tabu’ ya, seolah-olah ngasih pesan kalau prenup itu kayak nyiapin perceraian (na’udzubillahi min dzalik). Tapi sebetulnya prenup ini melindungi banget!
Misalkan salah satu diantara kita atau pasangan adalah entrepreneur. Pasti ada kalanya kita minjem duit ke bank untuk modal, pake collateral dsb. Jika someday kredit kita bermasalah atau usaha kita down, maka bank atau peminjam gak bisa serta merta nguras aset pasangan kita juga, karena udah ada perjanjian pisah harta. Harta pasangan kita gak bisa diutak-atik, begitupun sebaliknya.
Karena kalau gak dibikin perjanjiannya, harta yang dihasilkan secara pribadi setelah menikah akan menjadi milik bersama, sesuai dengan UU RI No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 35 ayat 1: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Ini akan bermanfaat banget misalkan kitanya lagi down secara finansial, harta pasangan kita akan tetap aman dan bisa jadi penyokong keluarga selama kita dalam proses bangkit.
Selain dari perjanjian pisah harta, prenup ini juga penting banget kalau kita termasuk aliran yang ingin jobdesc/roles antar pasangan bener-bener ditaati. Misal: kesepakatan tentang anak/keturunan, perjanjian kalau suami gak akan poligami, sampe siapa yang nyuci piring atau siapa bagian masak dan lain-lain yang emang pengen ditegaskan demi kehidupan rumah tangga yang aman damai sentausa juga bisaaa. Intinya, kesepakatan apapun yang menurut pasangan penting, bisa disertakan.
Ngurusnya gimana?
Ke notaris, gengs. Biayanya bervariasi, tergantung seberapa banyak pasal-pasal perjanjiannya. Semakin banyak dan semakin detail, semakin tinggi juga cost pembuatannya. Biasanya yang banyak kayak gini itu kalau masing-masing dari pasangan udah punya aset sebelum menikah: tanah, rumah, mobil, emas, saham, deposito, dan lain-lain yang mesti dijabarkan supaya jelas ‘return’ atas asset-aset tersebut akan tetap menjadi kepemilikan pribadi.
Tips: kalau kamu dan pasangan sepakat mau prenup, coba diobrolin dari jauh-jauh hari ya. Mesti banget disempetin di sela-sela waktu persiapan pernikahan khususnya kalau aset kamu tak terhitung seperti Hotman Paris wkwk.
Pengajian pra-nikah
Pengajian ini menurut saya hukumnya super wajib. Selama menyiapkan pernikahan, hampir 90% alokasi waktu dan tenaga buat nyiapin acara akad dan resepsi, tapi sedikit sekali waktu buat berkontemplasi dan minta do’a ke keluarga dan orang-orang terdekat. Padahal memulai hidup baru itu bukan perkara sepele. Tanggung jawabnya dunia akhirat. Selain usaha, faktor yang gak boleh dilupakan adalah do’a, dari diri kita sendiri dan orang-orang terdekat kita.
Alhamdulillah saya dan suami sempat mengadakan pengajian di rumah masing-masing. Pengajian kami cukup sederhana, tapi terasa maknanya. Ustadz yang kami undang tausiyahnya lumayan bagus, seputar nano-nanonya hidup berumah tangga dan bagaimana Islam mengajarkan kita untuk menyikapinya.
Bagian paling khidmat itu saat do’a bersama dan acara sungkeman. Disini saya nangis bombay karena pak Ustadz tetiba kasih kesempatan saya untuk ngomong depan orang tua. Saya anaknya pemalu dan pendiam di keluarga, tiba-tiba disodorin mic gitu saya kaget dan nangis duluan sebelum ngomong (inget dosa sama Bapak dan ibu hahaha). Semua calon penganten pasti ngerti ‘rasa’-nya. Rasa yang gak bisa ditahan…khususnya ketika kita minta do’a dan restu orang tua. Akhirnya saya ngomong depan orang tua disaksikan sama tetangga yang ikut pengajian juga, sambil mewek-mewek usap ingus juga 😭
Nambah emosyenel lagi ketika pertama kalinya dalam hidup, saya melihat Bapak saya nangis sesengukan waktu saya mengekspresikan perasaan yang tertahan ini. Bapak saya orang yang keras dan gak pernah ngeluh. Gak pernah baper (kecuali marah). Tiba-tiba nangis sesengukan sampe ingusan. Itu rasanya undescribable.
Tips: Buat saya, yang penting dari acara pengajian adalah isi tausiyah dan kehidmatan saat baca Al-Qur’an dan do’a plus prosesi sungkeman minta do’a. Jadi sebisa mungkin kita memilih ustadz terbaik dan mengundang orang-orang sekitar (keluarga, tetangga dekat) untuk datang dan mendo’akan. Pengajian gak perlu mewah-mewah pake souvenir mukena ratusan ribu atau buku do’a dengan kertas artpaper kalau emang bajetnya terbatas.
Prinsipnya ga usah dibawa ribet, fokuskan dana buat kelangsungan acara biar sakral (ustadz, makanan buat yang hadir, tenda atau karpet jika dibutuhkan). Buku do’a bisa disiasati dengan bawa Al-Qur’an atau buku do’a masing-masing (dalam konteks saya, ibu-ibu di rumah kebanyakan bawa sendiri-sendiri karena biasa pengajian juga). Souvenir pengajian ga usah yang mahal-mahal kalaupun mau pake. Ga ada juga gapapa, yang penting tamu yang ikutan ngaji gak kelaparan itu udah oke kok. Substansinya adalah do’a dan kekhidmatan acaranya ❤️ ***
(To be continued to Part IV)
Leave a Reply