“Udah ga usah nikah mewah-mewah, yang penting sah bukan wah.”
“Nikah itu murah, yang mahal gengsinya.”
“My wedding dream adalah ketika bisa nikah di KUA dan resepsi private dengan keluarga dan sahabat saja”
__
“Eh, dia kok nikah ga bilang-bilang ya? Tiba-tiba udah sah aja gitu. Jangan-jangan…”
“Dia nikah kok ga undang kita sih. Emang mereka perhitungan sih ya…” (brb background check kedua mempelai)
“Mereka nikah sederhana banget ya, a little too shabby gak sih? Padahal mereka kan mampu bikin resepsi yang oke”
__
“Dih ngapain nikah ngundang banyak orang. Capek-capek mikir dekor dan catering berjuta-juta. Kalau ujung-ujungnya ngontrak atau kalau beruntung tinggal di Pondok Indah Mertua.”
“Menurut gue nikahan dia oke sih, paling ya dibayarin mertuanya…” (brb background check orang tua kedua mempelai)
“Gila nikahan dia mah bagus…mewah banget. Padahal kan mereka orang biasa biasa aja. Palingan juga ngutang sana-sini.”
“Ngapain nikah mewah-mewah, sayang banget kan uangnya. Mending dipake DP rumah kek, modal usaha kek, apalah daripada buang-buang duit buat pesta yang tamunya juga pada gak dikenal.”
—
Pernah overheard omongan di atas? Atau mungkin kita sendiri termasuk salah satu yang pernah mengungkapkan hal serupa?
Kamu tidak sendiri. HAHAHA.
Udah lama sebenernya saya ingin menulis tentang ini. Menikah dan Pernikahan. Dua topik yang selalu hits dibicarakan di mana saja. Di kantor, di sosmed, di inner-circle, di jalan, di arisan keluarga, di silaturahmi lebaran dengan tetangga, literally dimanapun. Sengaja baru saya tulis sekarang setelah merasakan sendiri hah-heh-hoh nya menyiapkan pernikahan itu seperti apa.
Saya termasuk satu dari sekian juta generasi millenial ngehe yang mendambakan menikah secara sederhana. Dihadiri oleh tamu yang terseleksi oleh kedua mempelai, keluarga dekat, dan tetangga dekat yang tinggal dengan kita. Apalagi saya anak rantau, orang-orang yang terseleksi itu bisa dihitung jari. Mereka yang dekat dan benar-benar tahu saya dan pasangan jumlahnya enggak banyak.
Sempat kepikiran juga mau akad sederhana di KUA, atau acara sederhana di masjid, dengan syukuran bagi-bagi nasi tumpeng ke orang-orang terdekat dan acara keluarga sederhana saja. Baru sekarang saya sadar bahwa ‘sederhana’ itu ternyata gak se-sederhana itu.
Tentang Pernikahan
Saya dan suami sudah kenal cukup lama, hampir 7 tahun. Selama itu pula kami dekat dan saling berbagi cara pandang, visi, dan misi (ini pacaran apa mau nyalon DPRD yah 🤣). Obrolan seputar menikah dan pernikahan sudah kita lakukan dari jauh-jauh hari, sebelum saya dan suami lulus kuliah dan kita memutuskan untuk mencoba LDR, sekalian ngetest kecocokan dan konsistensi kami.
Momen wisuda S1 juga sebagai penanda bahwa hubungan kami dipersiapkan menuju ke jenjang yang lebih serius, meskipun dalam menjalaninya kami cenderung santai, gak narget nikah umur berapa. Kami pun mulai rajin bersilaturahmi ke masing-masing orang tua setiap Lebaran tiba, agar kedua orang tua kami tahu kalau anaknya gak main-main.
Jadi obrolan tentang menikah dan pernikahan bukan obrolan tabu bagi kami, sama seperti ngomongin karir, rencana studi, buku yang lagi dibaca, atau topik-topik hangat lambe turah. Intinya kita sama-sama santai, karena kita percaya kalau memang Allah meridhoi tujuan kita ke arah yang mulia, pasti bakalan sampe. Gak ngoyo dan gak rusuh. Meskipun banyak orang (dan mungkin juga riset) yang berkata bahwa perempuan lebih baik sudah menikah sebelum usia 30-an supaya mudah dapet anak, saya rasa itu semua kembali ke pilihan masing-masing dan ya…bagaimana Allah berkehendak. Sulit untuk interfensi di ruang tersebut, karena punya anak itu faktornya banyak. Jadi saya dan suami sepakat, kita akan menikah jika memang kita udah siap dengan tantangan yang lebih tinggi: mengikatkan diri sebagai suami istri.
Kenapa saya bilang tantangan?
Saat lajang, kita bebas membuat keputusan-keputusan apapun terkait karir, finansial, dan hal-hal lainnya. Kita bebas menentukan hari ini mau makan apa, makan dimana. Bebas mau beli apa saat olshop favorit lagi sale besar-besaran. Bebas mau ngambil berapa project di kantor, bebas mau meeting sampe jam 12 malem pun. Bebas mau begadang, bebas mau bangun subuh lalu tidur lagi.
Saat menikah, memang kebebasan itu tidak serta merta hilang, apalagi suami saya tipikal yang demokratis dan menghargai saya. Dia juga gak duduk manis waktu saya beres-beres rumah, malah di beberapa waktu dia lebih cekatan dari saya. Tapi tetap, saya gak bisa bebas memutuskan besok mau makan apa, karena saya juga harus memikirkan kondisi tubuh suami dan keuangan kami berdua. Saya mulai meng-unfollow beberapa olshop favorit demi ngejar target dana darurat ideal menurut mba Prita Ghozie. Saya membuat keputusan-keputusan besar terkait karir, dan memaksa diri saya memutar otak lebih keras agar tetap berada di jalur yang saya minati tanpa berpindah kompetensi. Hobi tidur setelah subuh harus saya check-off karena suami berangkat kerja pagi-pagi dan saya harus menyiapkan bekal tiap hari, lagi-lagi…demi mengejar target agar bisa segera punya porsi investasi ideal menurut mba Prita Ghozie.
Ini cuma sepersekian kecil dari konsekuensi sebuah pernikahan. Compromise, bahasa kerennya. Gak ada yang sederhana dari kompromi. Membuat keputusan terhadap diri sendiri aja sulit, lha ini mesti juga mikirin orang lain. Belum nanti mikirin dua keluarga besar. Belum kalalu udah ada anak, dan segala tantangan-tantangan lainnya. Butuh waktu yang lama buat saya untuk memutuskan “yuk lah kita laksanakan” sebelum akhirnya kita memutuskan menghadap orang tua untuk sebuah pertemuan dua keluarga.
Our Dream Wedding
Setelah berdiskusi dengan kedua keluarga, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk menikah dengan akad di masjid komplek rumah. Pertimbangannya karena masjid tersebut sudah jadi bagian hidup kami, dari saya kecil mengaji dan taraweh disana, dan kebetulan bapak saya termasuk bagian dari orang masjid. Beberapa pengurus juga termasuk tetangga dekat. Jadi keputusan akan “mengesahkan” dimana, bukan keputusan yang sulit buat kami berdua.
Justru keputusan yang tersulit dan terberat adalah menentukan bagaimana kita akan membuat tasyakuran a.k.a resepsi. Keputusan dari berpuluh-puluh kali diskusi, ngecek portfolio financial saya dan bebeb tiap minggu, dan drama dengan berbagai pihak utama keluarga.
Saya bukan tipikal orang yang pro resepsi di gedung atau pro resepsi di rumah. Buat saya yang penting ga ribet, dan tamu-nya happy. Kenapa mesti happy? Ya kalau dari awal kita niatin untuk bersyukur, ya syukur itu mesti dibagi dong. Dan berbagi itu sebisa mungkin tidak menyulitkan pihak lain, atau siapapun yang terlibat di dalamnya. Jadi saya dan suami prefer dimana saja, asal gak menyulitkan pihak tamu untuk datang, gak menyulitkan keluarga yang menjamu, ya intinya sebisa mungkin hassle-free lah.
Namun yhaa…seiring dengan ekspektasi yang tinggi, timbul quotation yang tinggi pula dari pihak WO hahahaha~
Saat melihat paketan harga wedding organizing yang saya dapatkan dari wedding-wedding bazaar dan juga gerilya dari 1 WO ke WO lainnya via online, semakin ingin saya nikah di KUA aja abis itu makan-makan di rumah. Percayalah, mengadakan acara resepsi itu udah kayak bikin pensi. Banyak yang mesti dipikir, bedanya bintang tamunya kita sendiri dan kita mesti ngasih makan semua tamu undangan. Oh ya, duidnya. Bukan dari sponsor, tapi dari duid sendiri kwkwkwk (kecuali Anda artis atau selebgram yang disponsorin yah 💁🏻♀️).
Percayalah, menikah ala mba Beauty Blogger di KUA pake celana jeans itu ga sesederhana itu. Khususnya di konteks saya yang cuma rakyat biasa, dimana orang tua kami hidup guyub bertetangga dan dikenal baik selama 28 tahun lebih. Saya pun menghabiskan masa kecil hingga SMA disana bersama mereka. Apalagi saya anak rantau, tiba-tiba nikah dan bagi-bagi tumpeng itu agak absurd rasanya. Kok tiba-tiba, kok gak ngomong-ngomong tralala trilili lalalayeyeye~~~. Dengan berat hati, konsep mba SS harus kami check off demi kedamaian kehidupan orang tua kami, agar kupingnya gak merah kalau diomongin macem-macem.
Kompromi dan Riset 2 Tahun
Saya dan suami memutuskan untuk tetap mengadakan acara resepsi. Saya gak mau menyisipkan kata-kata ‘sederhana’ dalam kalimat tadi, karena percayalah sobat, gak ada yang sederhana dari menyiapkan sebuah acara pernikahan…seminimalis apapun acara tersebut.
Lagipula, ‘sederhana’ ini multitafsir banget. Raisa bilang nikahannya sederhana, dimana buat saya geng kelas menengah ngehe, itu huwowwww banget. Kalau saya bilang nikahan saya sederhana, ada teman-teman saya yang resepsinya cuma dihadiri 50 anggota keluarga dan 20 sahabat dekat, di halaman belakang rumah. Itu juga ga masuk definisi saya, karena kami lahir dari keluarga besar (literally super besar) dan mereka itu deket satu sama lain. Jumlahnya di atas 300 orang. Saya juga ga punya backyard yang muat diisi 300+ orang dan jalanan komplek depan rumah itu sempit buk.
Nikah di rumah juga ga bisa dibilang ‘sederhana’ karena aslinya ribet. Mesti ngurus ijin ke tetangga, koordinasi tetangga yang pasti ikut wara-wiri ngerewangin dan nyiapin ini itu, pasang tenda, blocking jalan, ijin kelurahan, belum bersih-bersihnya. Belum minta ijin sebagian space halaman depan buat ditaruh kursi. Belum kalau mau pake sound system jedag jedug – mesti make sure tetangga radius 500 meter ga keberatan. Daaaaaaan…… ga semua tetangga dekat rumah adalah penghuni lama. Ada beberapa penghuni baru yang jarang bersosialisasi dengan kita-kita terus tiba-tiba kita minta area mereka buat dipake pesta. Yhaa….tak ‘sesederhana’ itu gengs nikah di rumah pun.
Dengan pertimbangan kenyamanan dan menghindari keribetan, kami putuskan untuk mengadakan acara resepsi di gedung. Pilihan ini juga ga sederhana, karena konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti juga mayan banyak: budget sewa gedung dan kebersihan, biaya dekor gedung yang lebih tinggi dibandingkan kalau walimahan di rumah, jarak gedung dengan tempat akad (karena akad di masjid sudah gak bisa di ganggu gugat), kemudahan akses gedung, akses parkir dan lain-lainnya yang jadi pertimbangan.
Ribet? Iya.
Tapi saya pikir, ini lebih ribet di awal ketimbang saat hari “H” nanti. Tinggal gimana saya dan bebeb muter otak untuk cari gedung yang strategis: masuk budget, cukup menampung undangan, dekat dengan rumah dan tempat akad, mudah diakses dan parkir yang luas.
Penentuan tempat itu baru step pertama (dan menurut saya paling prioritas buat di booking dari jauh-jauh hari) saat sudah menentukan tanggal akad dan walimah. Masih ada hal-hal lain yang dibutuhkan dan tak kalah penting: catering (undangan udah jauh-jauh masa gak dikasih makan yang proper, yakan?), make up artist (demi apapun, this is one of our most important day in life, mosok aku kethok ghembel?), dekorasi gedung (yang penting proper dan oke kalau difoto), MC dan penyelenggaraan resepsi (mau pake adat apa engga, mau gaya tradisional adat mana apa gaya Western apa gaya syar’i dll), entertainment (biar ga krik-krik), undangan, dan printilan-printilan lainnya. Banyak? Iya.
IDGAF
Segala keribetan itu bikin saya malas sebetulnya mempersiapkan pernikahan. Ingin rasanya nikah seperti cetak foto, sejam langsung jadi. Terlebih masalah budget mesti dipikirkan matang-matang, karena pernikahan itu hanya sebuah permulaan dari tantangan-tantangan tak berujung: anak, keluarga, pencapaian karir, kebermaknaan hidup untuk masyarakat, dan lain-lain yang juga membutuhkan investasi besar.
Satu-satunya motivasi saya dalam menyiapkan acara pernikahan adalah orang tua. Saya, anak rantau yang jarang pulang tapi paling diperhatikan oleh kedua orang tua saya yang usianya sudah tidak muda. Ibu saya pasti akan masak enak ketika saya pulang ke rumah dan Bapak akan sangat kecewa saat saya gak minta jemput kalau mau pulang. Adik saya yang setiap hari tinggal di rumah orang tua sampai merasa dianak-tirikan, seakan-akan anaknya cuma saya, padahal adik saya tiap hari bantu mereka. Maaf ya dek, mungkin kamu kurang piknik 🙃🙃🙃.
Momen pernikahan adalah momentum yang berharga bagi mereka, apalagi saat mereka menikah dulu gak ada resepsi, cuma akad sederhana. Terutama keluarga Ibu adalah keluarga super besar. Keluarga (alm) mbah Kakung dan (almh) mbah Uti juga keluarga besar, dan satu sama lain saling kenal. Ibu saya sangat akrab dengan sepupu-sepupunya. Hubungan kami juga cukup dekat. Setiap lebaran, ada 200+ orang yang bersilaturahmi di reuni keluarga, dan itu belum semuanya.
Karena itulah saya dan bebeb memutuskan untuk berkompromi. Oh, ini pun setelah debat berkali-kali ya. Jangan dikira kompromi itu damai…no no no. Masa-masa isak tangis mewek bombay sudah saya lalui saat membahas hal ini. Tidak mudah berkompromi saat jarak memisahkan kita.
Akhirnya, saya dan bebeb memutuskan untuk membuat acara resepsi di Gedung dengan segala konsekuensinya. Kami ingin menghargai keluarga dan orang-orang terdekat kami. Setiap sholat, selain minta do’a diberi kelancaran dalam prosesnya, kami berdo’a semoga keputusan kami bernilai ibadah. Kami berniat syukuran bersama keluarga besar, ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka. Semoga Allah ridho dan mudahkan semuanya.
__
Bagi kami, mau nikah di Gedung atau di rumah atau di KUA substansinya sama saja. Kita gak peduli orang mau bilang apa karena PERCAYALAH…dimanapun, dengan vendor dan tema apapun kita menikah, PASTI ADA AJA YANG NGOMENTARIN 🤣🤣🤣 Entah ngomongin bagus lah, ngomongin jelek lahhh, pasti ada saja. Mau make-up pengantennya cantik flawless kek, buat ibu-ibu mah dianggap ketipisan kayak riasan kondangan bukan riasan penganten. Mau cateringnya enak pun, ada aja lidah yang seleranya beda. Mau nikah di rumah, di Gedung, di pantai, di KUA, pasti adaaaaaaa aja yang komentar baik yay or nay. Yakan, jadinya sama aja.
So, saya rasa keputusan terbaik kembali ke masing-masing. We cannot please everyone, we are not an ice cream seller. Kami bahagia dengan keputusan kami, that’s all that matters. Jangan sampai kebahagiaan yang kami simpan selama bertahun-tahun ini dibiarkan rusak oleh nyinyiran penduduk semesta. Biarlah mereka berkata, bahagia ini tetap kita yang rasa 😙
Begitupun dengan pasangan-pasangan lainnya, apapun keputusan yang diambil pasti melalui banyak pertimbangan. Sering mendengar kisah-kisah mereka yang mau menikah dengan segala dinamikanya semakin membuka mata saya kalau setiap keluarga itu beda-beda. Kita juga gak tau mereka sudah melalui dinamika apa saja. Gak ngerti storinya gimana. So, mau kayak gimanapun nikahannya, sebagai suami istri kelak akan merasakan semua tantangan-tantangan hidup anyway. Jadi daripada dinyinyirin lebih baik kita ngopi saja.***
(To be continued to Part II)
Leave a Reply