Hi guys! I know it’s been a while 😉
I supposed to have at least 1 piece of writing every month but I failed to do it on February 🙁 It wasn’t a total loss though, I have some writings I kept on my folder just haven’t had any time to finish them all #Excuse.
Anyways, (mari kita kembali ke Bahasa).
Jadi, ada sesuatu yang cukup mengganggu pikiran saya akhir-akhir ini. Not necessary work-related, tapi lebih ke pengalaman-pengalaman yang saya alami, baik dari kacamata saya maupun kacamata orang lain. Semua berawal dari sebuah pernyataan: “gue males banget sama dia.”
Let’s be honest. Pasti dari kita pernah paling tidak satu kali dalam hidup kita, gak suka sama seseorang. Gak suka ini dalam artian kita males banget kalau harus berhubungan dengan orang itu, sebisa mungkin kita menghindari – jika kita bisa memilih tentunya. Momen-momen bersama ye-be-es bagaikan upacara bendera saat matahari lagi terik-teriknya. Maybe you just don’t want to be there but you have to, and if you can, do anything else even though that’s not fun rather than to deal with that person. Begitulah kira-kiranya.
Sederhananya gini. Dalam hubungan kerja atau hubungan sosial, pastinya kita terkoneksi dengan banyak manusia (if cats not included). Ada si A, si B, si C, sampe si Z semuanya punya keunikan masing-masing, anggap saja kita semua ada di posisi positif dalam menerima mereka apa adanya. Namun, ada kalanya orang-orang tertentu membuat kita jengah, sampai di level yang gak habis pikir dengan perilaku atau jalan berpikirnya. Mau kita coba berempati pun susah, ujung-ujungnya “ya udah lah ya dia mah emang gitu. Telen aja”. That. Reaksi tiap orang emang beda-beda, tapi buat saya hal ini bukan urusan sepele #AnaknyaSukaCariMasalah.
Saya percaya setiap orang lahir dengan bakatnya masing-masing. Kita saat ini adalah bentukan dari kepingan-kepingan peristiwa, pengalaman lahiriah dan batiniah. Kita adalah hasil dari keputusan-keputusan yang kita buat di masa lalu. Semua hal tersebut secara sadar maupun tidak, membentuk pola pikir kita, menjadi sebuah kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan hingga masa kini. This habit is kinda scary though. Once you possess a good habit, it will be your catalyst to successfully achieve whatever you set your mind to. Akan tetapi lain cerita kalau sebaliknya. Habit bisa menjadi penghalang antara rencana dan tujuan. Seperti procrastinating, misalnya *langsung menatap kaca*.
Ketika teman saya berujar “gue males banget sama dia” disitulah saya berpikir. Jika masing-masing dari kita adalah unik, kenapa gak semua orang mau bekerja sama dengan kita? Or sebaliknya, kenapa kita gak mau bekerja sama dengan semua orang? Pasti ada sebab musababnya kenapa kita prefer untuk menjalani relasi (kerja atau sosial) dengan orang tertentu. Pasti ada sebab musababnya kenapa orang-orang yang saat ini bekerjasama dengan kita memilih kita. Dari sekian banyak variabel, menurut saya substansinya adalah value.
Menurut Merriam-Webster, value (n) is the monetary worth of something, a fair return or equivalent in goods, services, or money for something exchanged. Tanpa bermaksud mengambil kacamata materialistik, sebuah ‘value’ pada hakikatnya mengandung sesuatu yang berharga baik bersifat barang, jasa, atau uang. Value ini gak semua sifatnya tangible, namun bisa dirasakan dampak dan manfaatnya.
Sebagai entitas makhluk sosial, kita tidak bisa lepas dari yang namanya “value” ini. Dia menentukan seberapa besar, atau seberapa pentingnya kita dihargai di mata orang lain, bahkan di dunia ini. Value memperlihatkan siapa diri kita dan manfaat apa yang bisa kita berikan. Jika saya coba mengutip sabda Nabi Muhammad s.a.w, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”, maka bisa kita simpulkan bahwa manusia yang terbaik adalah manusia yang paling bernilai (paling memiliki value), yaitu manusia yang mampu memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi manusia lainnya (dan alam semesta pada umumnya).
Saya sering banget denger ungkapan seperti ini, “lo kalau temenan/kerja sama orang mesti tulus” atau “dih males gue sama dia, dateng ke gue pas ada maunya doang”, “ah males semua orang pasti punya ‘kepentingan’. Ga ada gitu yang tulus sama gue”. Jujur, saya termasuk salah satu yang dulu ikut-ikutan nyinyir dengan ungkapan seperti itu. Tapi cobalah kita buka mata, hati, telinga, dan pikiran lebar-lebar. Setiap dari kita pasti punya kebutuhan terhadap orang lain, dan orang lain pun pasti butuh kita (dengan resources yang kita punya). We live by exchanging value among ourselves, and I think this what keeps the world running. Namun, ada kalanya kita terjebak dengan ungkapan ‘ketulusan’ dimana kita mengharapkan sesuatu tanpa adanya timbal balik apapun.
Menurut saya, there is no such thing as free breakfast. Setiap orang akan dihargai karena value yang mereka miliki. Entah itu berupa wawasan, pengetahuan dan skill, kepribadian kerja keras, disiplin, keterbukaan dan kejujuran, maupun karena kepemilikan lainnya. Value ini sifatnya tidak menetap, bisa berubah seiring perkembangan dunia itu sendiri. Bisa juga berubah karena pengondisian sosial, lingkungan, atau pengalaman internal yang kita rasakan. Sebuah value bisa jadi gak relevan kalau kita gak ikut-ikutan berkembang.
Revolusi digital dan perkembangan artificial intelligence mengubah peta kebutuhan tenaga kerja. Muncul pekerjaan-pekerjaan baru yang 5 atau 10 tahun lalu gak ada, sekarang ada dan perannya pun signifikan. Begitupun sebaliknya, pekerjaan-pekerjaan yang 5 atau 10 tahun lalu hits abis, sekarang mulai terdisrupsi oleh teknologi. Value yang kita miliki akan ‘diuji’ dengan gelombang perubahan. Kita dipaksa untuk berkembang dan beradaptasi.
Pertanyaannya, kalau skill, wawasan, pengetahuan saja masih minim, lalu apa value yang bisa kita tawarkan ke dunia? Kalau persaingan ini makin ketat dan semua orang punya chance yang sama untuk mendapatkan sebuah pekerjaan, menjalin sebuah hubungan, atau merealisasi sebuah project, apa value yang bisa kita miliki dan menjadi daya saing (added value) dari value-value yang dimiliki orang lain?
Disinilah saya merasa kekuatan karakter menjadi kunci dari semua value-value lainnya. Kejujuran, keterbukaan, kerja keras, disiplin, fair play, kemampuan bekerja dalam tim, kemampuan menghargai orang lain, menjadi sebuah skill langka di tengah ketatnya persaingan dan massifnya peran teknologi yang mempengaruhi segala sendi kehidupan. We all want to work with people who are open, honest, and respectful, right? Kita semua ingin hidup dalam lingkungan yang saling menghormati, saling support mimpi dan cita-cita masing-masing, menghargai waktu, ide, hasil karya dan jerih payah kita. Kita ingin apapun yang kita lakukan bisa memberikan dampak yang positif entah bagi diri kita sendiri, bagi keluarga, pasangan, anak-anak kita, teman-teman kita, rekan kerja kita, perusahaan kita, sekolah kita, dan masyarakat kita pada umumnya. Kita ingin bisa bermakna, dengan apapun yang kita punya.
Salah satu pakar Human Resources, Pak Pambudi Sunarsihanto pernah berujar dalam salah satu seminar bertajuk “Working with Millennials Generation” bahwa ABC is more important than CDE. ABC yang terdiri dari Atittude (sikap), Behaviour (perilaku), Culture (kesesuaian budaya) dianggap lebih berperan penting dari Competence (kompetensi), Diploma (ijazah), maupun Experience (pengalaman) dalam menentukan kesuksesan kinerja seseorang. Mendengar premis ini saya semakin percaya bahwa penting kiranya bagi kita untuk memperkuat aspek karakter atau “ABC” selain dari faktor “CDE” itu sendiri.
Hal ini lah yang sebetulnya menjadi permasalahan di tengah-tengah kita. Sering kita jumpai seorang kawan yang pintar bahkan mungkin lebih cerdas dari kita, tapi sulit sekali diajak bekerjasama. Setiap berdiskusi selalu ingin terlihat dominan tanpa mau mendengarkan orang lain, seakan-akan pendapat orang lain tidak lebih baik dari pikirannya. Perilaku kecil ini ternyata terbawa hingga ke level managerial yang lebih tinggi, hingga ke kehidupan sosial. Bisa dibayangkan betapa gak nyamannya jika kita berada dalam satu ruangan yang sama dengan dia.
Kasus yang lainnya (amit-amit…) jika aspek CDE-nya udah kurang mendukung, terus aspek ABC nya lemah sekali. Udah tau kalau pengalaman kurang, ilmu pas-pasan, kok ya gak sadar upgrade. Kok yo masih milih-milih kerjaan. Kok yo masih ngeluh dapet amanah. Kok yo males-malesan. Kok yo ilang-ilangan. Bukannya bersyukur dan kerja keras malah sibuk ngepoin instastory orang. Dikasih saran malah denial. Kerjaannya ngeluuuh ae tiap hari. Ya opo ‘to karepmu lek???
Males kan ya ngadepin orang kayak gitu?
Begitulah yang saya pikirkan dan coba saya hayati, bagaimana jika ‘orang kayak gitu’ adalah saya sendiri. Bagaimana jika selama ini saya merasa baik-baik saja, padahal sebenernya saya denial sama diri saya sendiri. Setiap ada kerjaan yang susah, ngeluh dalem hati kenapa derita ini seakan ada lagi ada lagi. Setiap dikasih amanah, ngeluh dalem hati kenapa gue lagi gue lagi. Setiap ada kesempatan berkembang malah ciut, ngomong dalem hati ah ginian doang gampang gue juga bisa. See? Betapa membentuk ‘value’ ini butuh latihan dari semenjak dalam pikiran.
Kalau kata ibu saya, kita itu gak boleh nolak rejeki. Pekerjaan, hubungan dengan orang lain dan masyarakat itu bagian dari cara Tuhan memberi jalan rezeki. Menjaga kepercayaan mereka, mencoba memberikan manfaat dari apa yang kita miliki itu cara terbaik buat menanam rezeki. Begitulah value (belief) yang senantiasa ditanamkan kedua orang tua saya dan menurut saya ini akan relevan sampai kapanpun. Semoga. ***
Feature image: Daria Nepriakhina. Unsplash.
Leave a Reply