Energi baru dan terbarukan adalah sumber energi masa depan. Topik seputar energi baru dan terbarukan (renewable energy) semakin terdengar di perbincangan domestik dan global. Setidaknya ada dua dorongan utama perbincangan ini. Pertama, para ahli sudah menyadari bahwa energi fosil suatu saat akan habis, sehingga perlu mencari sumber energi alternatif. Kedua, pemanasan global (global warming) semakin terasa dampaknya di berbagai belahan dunia. Bagaimana posisi Indonesia dalam merespon peluang dan ancaman ini?
Ketersediaan Energi Fosil Semakin Menipis
Seluruh aktivitas yang kita lakukan tidak lepas dari peranan energi. Dari mulai bangun tidur saat kita menyeduh secangkir kopi hangat, saat kita berkendara dari rumah menuju ke kantor, saat berolahraga di gym, hingga bekerja dan beraktivitas bersama keluarga. Energi adalah bagian dari hidup kita. Bisa kita bayangkan, jika sumber energi tidak tersedia, maka kita tidak mungkin bisa melakukan aktivitas-aktivitas penting dalam hidup.
Pengembangan energi terbarukan didorong dengan adanya prediksi para ahli bahwa sumber energi fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas akan habis seiring tingginya kebutuhan energi di negara maju dan berkembang. Perkiraan jumlah energi fosil yang tersisa di planet ini cukup beragam dari kalangan ahli.
Pada tahun 1950, seorang ahli geologi bernama M King Hb mengembangkan ide ‘puncak minyak’. Suatu titik yang menunjukkan produksi minyak pasti akan mulai menurun dan berhenti karena sumber daya minyak terbatas. Amerika Serikat diperkirakan oleh Hb mencapai puncak minyak pada tahun 1970 dan hal itu terbukti. Pada 1979, Hb meramalkan puncak minyak global akan terjadi pada tahun 2000.
Lain halnya dengan perkiraan Djoko Sungkono, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember 1945 Surabaya. Menurut beliau, bahan bakar fosil diperkirakan akan habis 30 tahun lagi.
Lantas, bagaimana dengan cadangan energi fosil di Indonesia?
Minyak merupakan salah satu sumber energi fosil utama yang dimiliki Indonesia. Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Kardaya Warnika, memperkirakan cadangan minyak Indonesia hanya akan bertahan untuk 10 tahun lagi.
Di saat cadangan minyak Indonesia semakin menipis, konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia justru masih sangat mendominasi, yakni sekitar 42,99 persen. Diikuti konsumsi gas (18,48 persen) dan batu bara (34,47 persen) dari total konsumsi energi total. Namun di sisi lain, penggunaan energi baru dan terbarukan masih berkisar 4 persen dari total konsumsi energi.
Dalam sejarah, Indonesia sejatinya pernah dikenal sebagai salah satu negara pengekspor minyak bumi. Tidak tanggung-tanggung, negara ini pernah masuk dalam keanggotaan OPEC. Namun sejak tahun 2004, jumlah minyak bumi yang dijual lebih sedikit dibandingkan yang dibeli, sehingga Indonesia resmi menjadi negara net importer minyak bumi.
Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia memiliki ketergantungan terhadap pasokan minyak negara lain, seperti Korea, Singapura, Malaysia, dan Kuwait untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kurang lebih 30 persen kebutuhan energi domestik berasal dari minyak bumi impor. Kondisi yang diprediksi akan terus meningkat ini dapat mengganggu kestabilan perekonomian Indonesia.
Kita perlu merasa khawatir terhadap semakin menipisnya sumber energi fosil serta dampak-dampak yang menyertainya di masa depan. Indonesia sangat mungkin mengalami defisit sumber energi jika tidak ada gerak akselerasi untuk mengoptimalkan sumber-sumber energi baru dan terbarukan.
Kebutuhan Energi Terbarukan (Renewable Energy) di Masa Depan
Kebutuhan energi dunia terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Badan Energi Dunia (International Energy Agency-IEA) memproyeksi hingga tahun 2030 permintaan energi dunia akan meningkat sebesar 45 persen. Permintaan energi rata-rata akan mengalami peningkatan sebesar 1,6 persen per tahun. Di sisi lain, pasokan energi fosil yang selama ini memenuhi 80% kebutuhan energi dunia tinggal menunggu waktu untuk benar-benar habis dari planet ini.
Banyak negara mulai menyadari ekses negatif penggunaan energi fosil yang akhirnya terdorong mencari sumber energi ramah lingkungan. Namun, faktanya belum ada satu negara pun yang menjadikan energi terbarukan sebagai pasokan energi utama. Negara-negara di dunia masih berupaya mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 sesuai komitmen dalam Paris Agreement.
Seiring munculnya kekhawatiran akan habisnya energi fosil serta dampak pemanasan global, kini banyak negara berlomba mengembangkan sumber energi terbarukan. Pengembangan sumber energi alternatif ini bukan hanya untuk kebutuhan domestiknya saja, melainkan bagaimana bisa menyuplai kebutuhan energi dunia. Hal ini merupakan sebuah peluang emas bagi seluruh negara, tak terkecuali Indonesia.
Potensi Indonesia sebagai Global Renewable Energy Supplier
Indonesia mampu mengambil posisi penting sebagai Global Renewable Energy Supplier. Banyak sumber daya alam yang dimiliki oleh negeri ini. Indonesia memiliki potensi energi terbarukan hingga 442 gigawatt (GW), atau sekitar tujuh kali lipat dari kapasitas listrik yang telah terpasang di Indonesia. Artinya, dengan mengoptimalkan potensi energi terbarukan, Indonesia mampu mencapai kemandirian energi.
Seiring perkembangan teknologi, tidak menutup kemungkinan Indonesia menjadi pemasok energi terbarukan secara global. Seperti halnya, dalam sejarah Indonesia pernah menjadi negara pengekspor minyak global. Seberapa besar potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia?
Menurut Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, potensi yang dimiliki negeri ini di antaranya mini/micro hydro sebesar 450 MW, biomassa 50 GW, energi surya 4,80 kwh/m2/hari, energi angin 3-6 m/set, dan nuklir 3 GW.
Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) menambahkan Indonesia juga memiliki potensi 312 lapangan panas bumi. Dari jumlah tersebut, baru 70 lapangan yang menjadi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Sisanya bisa dikembangkan menjadi sumber energi terbarukan.
Potensi energi terbarukan tersebut menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk bersaing dengan negara lain dalam hal supply renewable energy. Indonesia dengan segala sumber daya alam dan manusianya sangat mungkin bersaing dengan negara-negara maju dalam pengembangan energi terbarukan. Hal ini bermakna bahwa Indonesia mampu mencapai level kemandirian energi.
Kemandirian energi juga berarti kemandirian ekonomi dan politik. Seperti yang kita ketahui, tidak sedikit perang antar negara yang diduga terjadi akibat perebutan sumber energi. Mengembangkan energi baru dan terbarukan merupakan upaya untuk membantu negara kita agar tidak tergantung sepenuhnya pada pasokan energi fosil negara lain.
Peluang dan Tantangan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
Indonesia memiliki daya saing yang tinggi dalam pengembangan energi terbarukan. Banyak alternatif sumber daya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Tapi, daya saing ini tidak bisa menjadikan Indonesia terdepan dalam pengembangan EBT jika tidak dikelola dengan baik.
Negara ini bisa bersaing dengan negara-negara maju jika sumber daya ini dikelola secara efektif. Daya saing yang dimiliki Indonesia harus dikelola secepat mungkin untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Satu per satu tantangan harus segera diatasi untuk mempercepat akselerasi pengembangan EBT di dalam negeri.
Tantangan pertama dan utama yang harus diatasi adalah tingginya ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Mengacu pada data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia (HEESI) tahun 2018, batubara menguasai komposisi pembangkit listrik di Indonesia hingga 50 persen.
Tantangan ketergantungan energi fosil ini harus segera diatasi. Apabila ketakutan untuk konversi ke energi terbarukan adalah faktor harga, sejatinya tren global telah mengalami penurunan. Indonesia tidak perlu takut biaya mahal untuk memanfaatkan energi terbarukan.
Pemanfaatan energi terbarukan di tren global telah mengalami penurunan harga hingga 80 persen dalam 9 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, sejak 2014 penurunan harga energi terbarukan mencapai 50 persen. Namun, hingga saat ini total pemanfaatan energi terbarukan baru mencapai 2,3 persen dari potensi yang ada.
Penurunan biaya energi ini harus bisa dimanfaatkan untuk meraih keuntungan dari pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Jika secara kalkulasi biaya energi terbarukan sudah di bawah energi fosil, maka tinggal menunggu kesediaan untuk berinvestasi. Sebab ke depan, energi terbarukan menjadi ‘the new oil’ yang lebih bersih, murah, dan dapat menggerakkan perekonomian rakyat.
Sebelum mengulas strategi mengelola daya saing, sebenarnya berapa target bauran energi nasional terkait penggunaan energi terbarukan ini?
Mengacu kepada Perpres No. 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional disebutkan bahwa kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada tahun 2025 adalah sebesar 17% dengan komposisi:
- Bahan Bakar Nabati sebesar 5%,
- Panas Bumi 5%,
- Biomassa, Nuklir, Air, Surya, dan Angin 5%,
- serta batubara yang dicairkan sebesar 2%.
Untuk mendukung upaya dan program pengembangan EBT, pemerintah sudah menerbitkan serangkaian kebijakan dan regulasi yang mencakup:
- Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
- Undang-Undang No. 30/2007 tentang Energi
- Undang-undang No. 15/1985 tentang Ketenagalistrikan
- PP No. 10/1989 sebagaimana yang telah diubah dengan PP No. 03/2005 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik dan PP No. 26/2006 tentang Penyediaan & Pemanfaatan Tenaga Listrik
- Permen ESDM No. 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah
- Kepmen ESDM No.1122K/30/MEM/2002 tentang Pembangkit Skala Kecil tersebar
- Saat ini sedang disusun RPP Energi Baru Terbarukan yang berisi pengaturan kewajiban penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan dan pemberian kemudahan serta insentif.
Selain penerbitan sejumlah regulasi, Pemerintah juga mengambil inisiasi langkah-langkah pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Langkah-langkah yang akan diambil Pemerintah adalah menambah kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Mikro Hidro menjadi 2,846 MW pada tahun 2025, kapasitas terpasang Biomassa 180 MW pada tahun 2020, kapasitas terpasang angin (PLT Bayu) sebesar 0,97 GW pada tahun 2025, surya 0,87 GW pada tahun 2024, dan nuklir 4,2 GW pada tahun 2024. Total investasi yang diserap pengembangan EBT sampai tahun 2025 diproyeksikan sebesar 13,197 juta USD.
Strategi Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia
Untuk mencapai target pengembangan kapasitas di tiap jenis energi terbarukan tersebut, perlu strategi pengembangannya. Berikut upaya pengembangan di tiap sumber energi terbarukan:
Upaya Pengembangan Energi Biomassa
- Mendorong pemanfaatan limbah industri pertanian dan kehutanan sebagai sumber energi secara terintegrasi dengan industrinya
- Mengintegrasikan pengembangan biomassa dengan kegiatan ekonomi masyarakat, mendorong pabrikasi teknologi konversi energi biomassa dan usaha penunjang
- Meningkatkan penelitian dan pengembangan pemanfaatan limbah termasuk sampah kota untuk energi
Upaya Pengembangan Energi Angin
- Pengembangan energi angin untuk listrik dan non listrik (pemompaan air untuk irigasi dan air bersih)
- Pengembangan teknologi energi angin yang sederhana untuk skala kecil (10 kW) dan skala menengah (50 – 100 kW)
- Mendorong pabrikan memproduksi SKEA skala kecil dan menengah secara massal
Upaya Pengembangan Energi Surya
- Pemanfaatan PLTS di perdesaan dan perkotaan
- Mendorong komersialisasi PLTS dengan memaksimalkan keterlibatan swasta
- Mengembangkan industri PLTS dalam negeri
- Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien dengan melibatkan dunia perbankan
Upaya Pengembangan Energi Nuklir
- Melakukan sosialisasi untuk mendapatkan dukungan masyarakat
- Melakukan kerja sama dengan berbagai negara untuk meningkatkan penguasaan teknologi
Upaya Pengembangan Energi Mikrohidro
- Mengintegrasikan program pengembangan PLTMH dengan kegiatan ekonomi masyarakat
- Memaksimalkan potensi saluran irigasi untuk PLTMH
- Mendorong industri mikrohidro dalam negeri
- Mengembangkan berbagai pola kemitraan dan pendanaan yang efektif.
Sejumlah lembaga ikut memberikan rekomendasi dalam pengembangan energi terbarukan. Misalnya, International Institute for Sustainable Development (IISD) merekomendasikan agar pemerintah mengubah kebijakan utama seperti insentif fiskal untuk energi fosil dan perluasan penggunaan batubara. Dengan begitu, penanaman modal di sektor EBT bisa lebih besar.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, Halim Kalla menyatakan potensi EBT yang dimiliki Indonesia belum digarap dengan baik lantaran terkendala regulasi dan investasi. Untuk mengatasi hal itu, Kadin merekomendasikan lima hal yakni:
- Penerbitan aturan yang memprioritaskan pemanfaatan EBT dibandingkan energi fosil
- Pengaturan harga EBT berdasarkan jenis sumber, lokasi, dan kapasitas terpasang yang dibangun.
- Pemberian insentif fiskal dan non-fiskal untuk percepatan investasi EBT hingga mencapai harga keekonomian.
- Pembentukan Badan Pengelola Energi Terbarukan (BPEI) yang akan berperan untuk mencapai target EBT dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% pada 2025 dan penurunan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030 dari sektor energi.
- Pembentukan dana energi terbarukan untuk mendorong percepatan investasi energi terbarukan, termasuk di dalamnya untuk penyediaan insentif, penelitian dan pengembangan, peningkatan kapasitas, kompensasi PLN, serta haI-hal lain yang berkaitan dengan percepatan investasi energi terbarukan.
Kesimpulan
Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sekarang adalah momentum untuk melipatgandakan usaha pemerintah sebelum terjadi kelangkaan energi fosil secara global. Secara keseluruhan strategi pengembangan daya saing Indonesia dalam renewable energy dapat kita agregasikan dalam beberapa step.
Pertama, regulasi khusus pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Pemerintah telah menerbitkan cukup banyak regulasi untuk pengembangan EBT. Namun, perlu diberikan payung hukum yang lebih luas untuk memaksimal upaya kolaborasi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Serta, payung hukum untuk insentif fiskal bagi pelaku pengembangan EBT. Sebab, ke depan buah dari upaya pengembangan EBT juga akan menyelamatkan anggaran negara. Uang negara yang selama ini terkuras cukup besar untuk subsidi energi atau impor minyak bisa dialokasikan program-program produktif untuk masyarakat.
Kedua, penguatan kolaborasi antar stakeholder. Upaya pengembangan energi terbarukan tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Pemerintah memiliki keterbatasan anggaran, SDM, serta teknologi. Kunci percepatan pengembangan energi terbarukan ini adalah menggandeng sebanyak mungkin pihak-pihak yang kompeten di bidang EBT. Swasta harus dilibatkan untuk mengembangkan EBT agar terjadi kompetisi harga dan kualitas di pasar energi domestik. Pada akhirnya, masyarakat dapat mengonsumsi energi terbarukan dengan harga terbaik. Pemerintah juga akan lebih mudah mencapai target bauran energi dari Paris Agreement.
Ketiga, percepatan industrialisasi energi terbarukan. Untuk mencapai target pengelolaan sedemikian besar potensi energi terbarukan di Indonesia, tidak lain dengan jalan industrialisasi secara masih. Misalnya, perlu dorongan investor untuk membuka pabrik-pabrik pengolahan limbah untuk suplai energi biomassa. Serta, pembukaan industri baik skala kecil maupun besar untuk mengoptimalkan potensi tenaga surya, mikrohidro dan angin di berbagai daerah. Untuk pengolahan energi panas bumi dan nuklir memang butuh skala industri besar. Maka, perlu koordinasi investor besar atau luar negeri untuk menggarap potensi di sektor energi ini.
Keempat, membuka peluang Crowd funding Investment. Tren pembiayaan dari masyarakat terus bergeliat di berbagai momentum. Selama ini, crowd funding banyak diadakan untuk pembiayaan kebutuhan sosial melalui berbagai platform Online. Namun, sekarang cukup banyak startup yang membuka pembiayaan untuk proyek-proyek pertanian, peternakan, dan perikanan. Tidak menutup kesempatan, pembiayaan pengembangan energi terbarukan skala kecil dan menengah bisa menggunakan skema Crowd funding Investment.
Terakhir, mencetak tenaga ahli energi baru dan terbarukan. Pendidikan akan senantiasa menjadi investasi paling berharga untuk negeri ini. Bidang keilmuan untuk pengembangan energi terbarukan dapat dijadikan salah satu prioritas program beasiswa yang setiap tahun diselenggarakan pemerintah. Sumber daya minyak mungkin akan habis. Tapi, Indonesia akan tetap berdikari di bidang energi jika memiliki banyak tenaga ahli energi terbarukan.
Energi adalah kebutuhan dasar seluruh negara untuk menggerakkan perekonomian serta kehidupan masyarakatnya. Kemandirian energi menjadikan suatu negara berdaulat secara ekonomi dan politik. Indonesia harus segera berlari dalam segala upaya menyiapkan transformasi energi. Transformasi melepaskan ketergantungan energi fosil menjadi negara mandiri energi. Kita semua harus berkolaborasi bersama pemerintah untuk bersama-sama mengoptimalkan seluruh potensi energi terbarukan negeri ini.***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Jurnalistik “Energi Untuk Indonesia” tahun 2020 (Kategori Blogger), yang diselenggarakan oleh Kementerian ESDM.
Feature image: Pexels.
Leave a Reply