Tumbuh dan besar di ibukota bukanlah hal yang mudah. Setidaknya itu yang saya amati dari generasi muda masa kini (a.k.a kids jaman now) yang katanya generasi paling berani, paling kekinian. Kebebasan berekspresi ditunjang dengan kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat kepala lebih sering tertunduk ketimbang menengadah. Pikiran bekerja lebih cepat merespon informasi, hingga satu, dua, atau tiga kali kita kehilangan kendali. Di kala jari jemari bergerak lebih cepat daripada neuron otak kanan dan otak kiri.
Inilah potret kita. Generasi paling ‘sosial’ di media sosial. Setiap hari kita tak pernah lepas dari gawai. Di rumah, di kantor, di pasar, dalam sesaknya Transjakarta dan celah-celah KRL. Kita berinteraksi tanpa harus bersuara, mencoba melihat wajah Indonesia dari genggaman layar kaca. Saat ini nampaknya buku bukanlah satu-satunya ‘jendela dunia’. Informasi apapun bisa kita dapatkan secara instan, terlepas dari benar-salahnya, dan sumber datanya.
Teknologi memang memudahkan, namun bisa juga melenakan. Bukan sekali dua kali saya mendapatkan broadcast alias pesan berantai yang dikirimkan ‘tetangga sebelah’. Isinya macam-macam tentunya, dari mulai do’a dan motivasi, fakta-fakta kesehatan, sampai berita yang entahlah sumbernya dari mana. Hebatnya, berita tersebut tersebar dengan sangat cepatnya, hingga portal berita ‘jaman now’ mengunggah konten-konten via hengpong jadul yang jadi andalannya. Lebih hebatnya lagi, media tersebut tak hanya menjadi sarang berita (maupun wacana), namun juga memperlihatkan potret masyarakat Indonesia yang sesungguhnya lewat ribuan komentar yang bergentayangan entah dari akun asli atau bukan.
Berita baik belum tentu dipersepsi baik, tergantung bagaimana sudut pandang masyarakat dalam menilai. Haters are gonna hate, they say. Sedih sih. Mau sebagus apapun beritanya, masih ada aja yang nyinyir, “pantes aja dia bisa begini, wong blablabla…”, “ah sekarang aja menang, paling besok besok kalah lagi”, “wah bangsa kita punya generasi muda berprestasi sayang banget kurang sokongan dari negeri sendiri”. Kalau harus didetailkan, gak akan ada habisnya.
Sebetulnya kita ini bangsa yang besar, bangsa yang kaya. Dua ratus lima puluh juta jiwa itu bukan jumlah yang bisa dipandang sebelah mata. Terlebih, sudah tujuh puluh dua tahun kita merdeka. Nama kita sudah tidak asing lagi di kancah dunia. Berbagai prestasi telah kita torehkan. Jagoan-jagoan kita mengukir sejarah, bersaing dengan mereka yang berasal dari negara maju dan adidaya. Namun sangat disayangkan, sebagian besar generasi kita masih tertatih dalam membaca. Mengamati realitas secara terbuka dan mengapresiasi kekayaan bangsa, nampaknya masih menjadi tantangan terbesar kita.
Menurut saya, perkara membela negara itu bukan masalah siapa bisa jadi apa. Memang prestasi dan karya jadi tujuan utama. Namun di balik itu semua, ada proses panjang yang harus dilewati. Sebelum benar-benar mampu mengeluarkan potensi kita, salah satu hal yang penting dan mendasar adalah mengelola cara pandang dan berlatih menahan diri dari godaan hoax-hoax yang terkutuk.
Kurang dari satu tahun lagi, Indonesia akan menjadi tuan rumah 18th Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018. Jika kita lihat ke sekitar, negara kita sudah banyak berbenah. Segala fasilitas terbaik sedang dipersiapkan, melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam melangsungkan salah satu hajat besar negara kita. Jakarta dan Palembang sedang berbenah raganya. Namun, sudahkah masyarakat kita membenahi jiwanya?
Inilah harapan saya.
Sebagai warga sipil biasa, tentu saya memiliki banyak keterbatasan. Namun saya percaya, negara ini punya kita semua, bukan saja milik mereka yang punya kuasa. Kita bertanggung jawab atas apa yang terjadi di negeri ini. Paling tidak, kita bertanggung jawab terhadap pemikiran kita. Terhadap judgement kita. Terhadap cara kita melihat sesuatu dan bagaimana kita meresponnya.
Negara kita memiliki kekayaan dan keunikan yang tidak dimiliki bangsa lain. Yup, unity in diversity, atau yang dikenal dengan “Bhinekka Tunggal Ika”. Konsepnya sudah dihafal sejak bangku sekolah dasar, namun entah mengapa implementasinya masih butuh banyak pelatihan dan pengulangan. Padahal jika kita coba dalami lebih jauh, mereka yang telah mengharumkan nama bangsa kita berasal dari berbagai suku, agama, dan ras. Mereka berjuang bersama sebagai satu tim, saling menopang demi merah putih di tiang tertinggi dan Indonesia Raya yang digemakan ke seluruh penjuru. Hal ini tidak banyak dijumpai di negara lain. Bukankah ini sesuatu yang hebat? Bagaimana bisa sebuah perbedaan menjadi kekuatan yang luar biasa?
Gak usah susah-susah deh bicara tentang pembangunan negara. Bangunlah dulu jiwa kita. Bangunlah dulu pemikiran kita. Sudahkah kita membuka diri terhadap perbedaan yang terjadi di sekitar kita? Sudahkah kita membuka dialog untuk mendengarkan lebih dalam? Sudahkah kita mencoba mencari tahu sebelum kita berpendapat? Sudahkah kita menahan diri dari perdebatan tanpa ujung? Sudahkah kita bersyukur dan mengapresiasi mereka yang berjasa bagi negara kita? Sudahkah kita menjadi bagian dari kesuksesan mereka?
Saya percaya bahwa masing-masing dari kita adalah investasi. Jika kita mampu mengerahkan potensi terbaik kita, tentu negara kita akan maju dengan sendirinya. Jika kita mampu membantu seseorang mengeluarkan potensi terbaiknya, isn’t that moving mountain as well? Hal yang kita butuhkan saat ini adalah sebanyak mungkin generasi muda yang peduli. Kepedulian dimulai dari kemauan untuk mendengar lebih banyak daripada berbicara. Kemauan untuk membaca lebih banyak sebelum menulis lebih banyak lagi. Saya yakin, kepedulian dari tiap generasi muda ini adalah benih yang kelak akan membuahkan sebuah energi positif demi majunya bangsa kita. Indonesia yang dikenal dunia karena prestasinya di tengah keberagaman. Indonesia yang merdeka dari kemiskinan karakter. Indonesia yang jaya karena generasi mudanya.
Sudah siapkah kita menjadi bagian dari #EnergiAsia untuk #BelaIndonesia? ***
Leave a Reply