Mental Tempe Bacem

Ada yang gak tau tempe bacem itu kayak gimana? Google dulu gih. Karena disini saya gak akan ngomongin makanan sama sekali. Saya asumsikan pembaca blog saya pinter-pinter dan setuju kalau tempe bacem itu enak 😁

Gagal maning, son?!

Beberapa jam yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan diberitakan oleh sebuah media badminton online terpercaya bahwa salah satu wakil Women Single Indonesia yang bernama Fitriani atau biasa disebut “Neng Mpit” baru saja kalah di babak 32 besar oleh pebulutangkis Tiongkok bernama Chen Yufei (unggulan ke-2, world ranking ke-4) di Japan Open 2019 (Super 750).

Buat yang awam seputar bulu tangkis, Fitriani ini salah satu wakil WS Indonesia yang seringkali diterjunkan bersama Gregoria Mariska Tunjung (a.k.a Jorji) dan memang selama beberapa tahun ini belum ada satupun wakil WS Indonesia yang memegang gelar juara dunia.

Neng Mpit pun sepertinya belum mampu menjadi tumpuan 250 juta warga Indonesia di sektor WS ini. Berkali-kali kalah dengan skor yang ekstrim, 21-7 misalnya. Skor satu digit yang dianggap memalukan. Tak heran, neng Mpit sering jadi bahan bulian netijen budiman di berbagai lini sosmed bulutangkis. Alhamdulillah, neng Mpit gak punya IG official, semoga dia juga gak punya second account deh. Kalau saya jadi dia, mungkin saya harus pergi ke Psikolog dan Therapist. Gak kuat saya dibuli kayak gitu.

I need mental insurance, please.
(Illustration: https://medibulletin.com/despite-new-law-insurance-penetration-in-mental-health-is-poor/)

Saya gak tau apa yang terjadi kenapa sektor WS kita itu kalah jauuuh dibandingkan pemain-pemain Tiongkok, Jepang, Korea, dan Thailand. Secara teknik, sebetulnya pemain-pemain kita masih bisa bersaing banget. Makanya para netijen berasumsi, bisa jadi masalah utamanya adalah mental. Mental takut duluan menghadapi lawan-lawan yang lebih gahar, mental gemetar duluan saat bertanding dengan mereka yang Top 10 di World Ranking, atau bertemu kembali dengan bebuyutan yang selalu ngalahin mereka.

Saya pun gak ingin berkomentar apapun seputar strategi yang diterapkan Coach maupun PBSI dalam menurunkan kontingen mana yang akan terjun dan bertanding. Saya gak tau menahu seputar strategi beginian, ya siapa saya juga sih yang berani komen “turunin aja tuh, ganti aja, bongkar! Kasih kesempatan sama yang lebih muda dan juara (di level bawahnya)”.

Yakali bos, ente bisa jamin apa diganti itu langsung bakal juara? Apa iya mereka mendadak bisa masuk Semi Final di level 750 atau level 1000? Apa iya mereka juga gak akan punya masalah “mental”?

Nah karena saya tidak punya ilmu, saya sangat hati-hati saat menumpahkan emosi atau berkomentar, karena apapun yang saya komentari di sosial media akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat. Sok alim emang saya tuh, kalau inget lagunya Bimbo kalau semua anggota badan kita (termasuk jari dan jempolmuuuuu netijenn!!!!) akan dimintai pertanggung jawaban, saya benar-benar takut dan gak mau rugi. Gak kebayang kalau apa yang saya katakan di sosial media jadi pemberat amalan buruk saya 😭 Ndak mau sayaaaaa.

Oke balik lagi ngomongin mental.

Mental Tempe Bacem

Dinamika mental orang itu beda-beda. Sebagai praktisi human development, kita gak bisa menyimpulkan dari apa yang kita lihat di media. Perlu langsung ketemu, ajak ngobrol, liat track record, dan penelitian-penelitian lainnya. Tapi satu hal yang saya pahami, bahwa menjatuhkan orang lain hanya karena dia kalah, itu sebuah “mental tempe bacem” yang harus dikikis.

Kenapa saya sebut TEMPE BACEM? Karena ia lemah dan letoy seperti tempe, tapi nikmat karena bumbu bacem.

Saya paham betapa masyarakat Indonesia kecewa kalau wakilnya gagal maning gagal maning. Saya yang gak invest apapun ke PBSI ataupun atlet badminton ini juga ikut-ikutan gemas.

Tapi mengatakan bahwa neng Mpit mestinya turun lagi ke level 100 itu bisa meruntuhkan karakter seseorang, and that’s just not a good attitude for me, meskipun di negara demokrasi ini kita bebas bependapat. Biar bagaimanapun juga, kita tak bisa menepis fakta bahwa Fitriani adalah penyumbang gelar pertama di tahun ini lewat Thailand Masters 2019 (level 300). Berarti level 300 dia mampu dong.

Kalau gegara kalah di level 750 atau 1000 lantas dia dikomentari “turun aja ke level 100”, menurut saya itu sangat tidak berempati dan keterlaluan. Bayangkan Anda ada di posisi Mpit, di posisi Coach, dan teman-temannya. Bayangkan kemampuan Anda di level 300 seakan-akan tak ada artinya sama sekali…dilupakan begitu saja seketika kalah berturut-turut dengan ranking 4 dunia di level pro. Gak kebayang ya? Iya soalnya kita bukan Mpit.

Inilah mental tempe bacem yang sering saya temui. Membully orang lain yang kalah, mencaci mereka yang gagal, terasa nikmat bagaikan tempe bacem. Tapi kalau kita sendiri yang dihadapkan pada kondisi seperti itu, kita memilih untuk turun level. Kita memilih untuk main di level yang “aman”. Zona nyaman emang makanan empuk bangsa kita.

Satu lagi pengalaman yang ingin saya share.

Merendah untuk Meroket

Beberapa bulan ini, saya mengikuti sebuah kelas Bahasa. Saya sudah pernah belajar secara otodidak semasa SMP, tapi gak pernah diterusin sampe 2018 lalu. Kebetulan di kelas saya, hampir semua teman-teman saya sudah jago baca hangeul, bahkan membuat kalimat-kalimat dialog sehari-hari dengan sangat lancar, bak di drama. Saya sendiri meskipun bisa baca, masih kesulitan membuat kalimat kalau materinya belum pernah diajarkan di kelas.

Minder? Awalnya gitu. Tapi saya pikir, “lha saya belajar itu buat bisa, bukan buat pamer. Justru karena saya ndak bisa dan saya ingin bisa, makanya saya belajar.” Bodoh saat belajar itu perlu mamen. Lek gak goblok, ga ada pressure buat cepet bisa. Saya penganut faham “Stay hungry, stay foolish”-nya Steve Jobs. Saya gak malu misalkan saya salah saat ngerjain soal dan harus dievalusi satu kelas. Kadang ada rasa yang membekas, tapi dari situ justru saya jadi ingat grammar yang benar seperti apa. Kemampuan menulis dan membaca saya juga terus meningkat.

Photo: Etsystatic.com

Tapiii….

Ada rekan sekelas saya yang lebih jago dari saya. Bahkan dia memiliki kosakata yang lebih banyak, dan kemampuan membuat dialog yang lebih apik. Saat disuruh membuat contoh kalimat (yang itu mudah, karena udah ada contohnya di buku), dia kemudian bilang “duh takut salah….kalau salah gimana?“Aku sebenernya harus mulai dari basic deh, gak di level ini”.

Heran saya.

Baca udah bisa. Nulis udah bisa. Bikin kalimat udah pake grammar dan kosakata kayak di drama. Disuruh bikin cerita juga mestinya bisa. KENAPA TAKUT SIH??? KENAPA MAU TURUN LEVEL SIH???

Ini sama sekali gak make sense. Inilah bentuk dari mental tempe bacem lainnya. Lebih enak emang ada di level bawahnya, kita udah lebih jago, jadi lebih pede di depan temen-temen. Jadi gak kena evaluasi kalau salah. But maaaann, how dull is that? Gimana mau berkembang kalau beraninya disitu-situ aja?

Makanya saya gak heran, orang-orang Indonesia itu paling susah disuruh ngacung dan maju ke depan. Seakan-akan mereka yang “berani” itu dianggap HUWOWWW, WAAAHH, JAGO NIHHH UDAH PINTER NIH..AH APA ATUDA AKUMAH GINI.

Pantes aja banyak yang takut ngelamar cewek/cowok yang lebih high profile dari dia. Pantes aja banyak sekali lagu-lagu, puisi, pantun, celotehan yang bernada, “saya ini sederhana. Gak punya apa-apa. Gak punya harta gak punya tahta gak punya iman gak punya ilmu. Mau gak kamu sama sayaaa????”  Silakan dijawab netijen-netijen singleku. Gelem thaa?

Entahlah ini maknanya merendah untuk meroket apa gimana, yang jelas it’s not attractive anymore 🙅🏻‍♀️ .

Cuy, mereka yang sukses itu pernah ditolak. Pernah gagal. Pernah rugi. Malah pernah dibully. Coba pikniknya yang lebih jauh yaa. Coba atuh kali-kali baca biografi, baca artikel-artikel yang menginspirasi, jangan baca komen julid tiap hari.

Buat neng Mpit, I don’t know what happened with you, tapi saya yakin kamu punya potensi. Saya yakin kamu bukan tempe bacem yang saya maksud. Saya yakin kalau kamu berusaha keras, kamu akan menemukan jalanmu. Semoga sukses memanfaatkan waktu dan kesempatan selama itu masih ada yaa. Dan semoga kamu lebih banyak menghabiskan waktu menempa kemampuan diri dan jauh-jauh dehhh dari sosial media 🚫

Buat semua pembaca yang baca tulisan saya:

Kalau kalian gagal, kalah, lelah, TELEN AJA. Sakit itu rasakan, tapi JANGAN PERNAH TURUNKAN TARGET. Cari jalan lain, belajar terus. Ubah kebiasaan dan jauh-jauhlah dari mental tempe bacem. Memang bacotan netijen itu sangat kejam. TELEN AJA. Memang dunia butuh pembuktian, ya mau gak mau kita harus BUKTIKAN. JANGAN MENYERAH, GASPOL!!!!

LOVE, PEACE, AND GAOLLLL!!! ***

Feature image: Vector Pocket.

Cinta Maulida

An INFJ navigating the world one deep thought at a time. Career Coach by day, tea connoisseur by choice. When I’m not devouring books or bingeing drama series, you’ll find me running, doing yoga, or lifting weights. Currently pursuing MBA, balancing life as a wife and home chef with a dash of curiosity.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *