Jakarta Humanity Festival atau yang disingkat dengan “Jakhumfest” adalah salah satu gelaran yang diadakan oleh Dompet Dhuafa untuk mengajak anak-anak muda a.k.a milenial agar lebih peduli kepada isu-isu sosial, lingkungan, dan kemanusiaan. Jakhumfest tahun 2020 ini digelar untuk ke-2 kalinya, setelah diinisiasi sebelumnya pada tahun 2019. Sesuai spiritnya, Jakhumfest tahun ini diadakan di kawasan hits anak muda ibukota, Mbloc Space.
Menyemai Nilai-nilai Kemanusiaan di tengah Keriuhan Informasi Sosial Media
Sebelum datang ke acara Jakhumfest ini, saya sudah punya resolusi untuk belajar lebih dalam seputar climate change, less-waste living, dan gimana menjadikan kita lebih aware dan mindful terhadap apa yang kita konsumsi. Mengingat banyaknya bencana yang terjadi di beberapa tahun ke belakang, agaknya kita harus mulai sadar bahwa kondisi alam sudah tak lagi sama. Bukan hanya meningkatkan kewaspadaan, mungkin lebih tepatnya mendekatkan kembali diri kita sebagai manusia yang pada hakikatnya adalah bagian dari alam.
Pertama kali masuk ke kawasan Mbloc, kita disuguhkan dengan pameran foto-foto yang didokumentasikan oleh tim Dompet Dhuafa saat mereka sedang melakukan misi kemanusiaan. Saya pernah mendengar quotes yang berbunyi “a picture tells a thousand words”. Seperti itulah kurang lebih yang saya rasakan saat memandangi satu per satu foto-foto tersebut.
Siapapun tidak ada yang ingin bencana datang. Seberapa kecilpun dampak yang ditimbulkan, bencana tetaplah bencana. Ada korban yang kehilangan harta benda hingga mungkin anggota keluarga. Kondisi yang mereka rasakan sudah tidak akan sama lagi. Masa depan menjadi sebuah angan-angan karena mereka harus bertahan dan selamat dalam “masa kini”. Sungguh kondisi yang berat bagi siapapun.
Saya rasa sebagai manusia yang diberikan akal dan hati, pasti bisa turut merasakan rasa sedih, sakit, atau kesulitan yang mungkin dialami para korban. Terlepas perbedaan suku bangsa, ras, atau bahkan agama, bencana selalu menimbulkan penderitaan. Disitulah rasa kemanusiaan kita diuji. Apakah kita akan membiarkan, melupakan, sekedar simpati, atau bergerak dengan daya dan upaya yang kita miliki.
Talkshow Humanitalk yang menjadi salah satu acara di Jakhumfest ini pertama-tama dibuka oleh Dr. Imam Rulyawan, Direktur Eksekutif dari Dompet Dhuafa. Ada insight menarik yang sempat dipaparkan oleh beliau saat menceritakan perilaku Milenial dalam berzakat dan berwakaf. Berdasarkan data, ternyata Milenial merupakan salah satu golongan terbesar yang menyumbangkan dana ZIS dan wakaf. Wow 👏🏽👏🏽👏🏽
Saya tidak mengira ternyata Milenial yang sering dikira generasi susah empati dan senengnya narsis ini ternyata punya kepedulian yang bisa diacungi jempol. Mungkin salah satu sebabnya karena sudah banyaknya chanel-chanel yang memudahkan mereka untuk berdonasi (salah satunya ada Tokopedia Salam yang akan saya bahas nanti). Selain itu, sosial media yang menghiasi hidup Milenial 24/7 juga telah dimanfaatkan oleh banyak lembaga kemanusiaan untuk mengkampanyekan misi sosial mereka.
Faktor kemanusiaan seseorang juga dapat berkembang seiring dengan banyaknya kegiatan-kegiatan sosial kerelawanan yang dilakukan. Marsya Nurmaranti, Direktur Eksekutif Indorelawan sempat menyinggung seputar hal ini. Menurutnya, menjadi relawan tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga memperkaya diri kita sendiri. Apalagi saat bergabung dengan sebuah komunitas, kita akan dipertemukan dengan berbagai macam orang dari beragam latar belakang sosial dan agama. Hal ini akan membuat kita sadar bahwa di balik semua perbedaan tersebut, ada kesamaan yang melekat pada diri kita semua sesama manusia yang ingin hidup dengan baik dan harmonis.
Menjaga Alam itu Hukumnya Fardhu ‘Ain, bukan Fardhu Kifayah
Kalimat tersebut datang dari Syamsul Ardiansyah, Manajer Program Lingkungan Dompet Dhuafa. Ini agak makjleb sih. Selama ini banyak yang merasa, “ah sudah cukuplah orang lain aja yang bergerak buat campaign urusan lingkungan. Kan udah ada lembaganya”. Seakan-akan perjuangan mereka menggugurkan kewajiban kita untuk juga turut berperan.
Hal senada diutarakan oleh Dithi Sofia, Manajer Program GIDKP (Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik). Mbak Dihti yang saat ini sedang melakukan penelitian thesisnya seputar social activism berkata bahwa kebanyakan orang-orang Indonesia saat ini adalah passive activist. Mereka merasa bangga saat mereka bisa koar-koar di sosial media seputar isu tertentu. Informasi yang dishare di sosial media sudah dianggap sebuah aksi dan peran yang mereka lakukan, meskipun mereka tidak benar-benar melakukan aksi real di lapangan yang berdampak.
Apa yang dilakukan oleh teman-teman GIDKP dalam perjuangan advokasi kebijakan adalah contoh real gimana seorang aktivis harusnya berjuang. Tentu tidak harus di bidang advokasi, namun paling tidak sebuah perjuangan harus punya hasil yang bisa diukur. Salah satu pencapaian GIDKP adalah lahirnya kebijakan Pemda untuk pelarangan pengunaan kantong plastik yang diproses melalui petisi sejak 2016 silam. Perjuangan yang prosesnya bertahun-tahun.
Ada pula komunitas divers (penyelam) yang tergabung dalam Divers Clean Action. Swietenia Puspa, Founder dan Direktur Eksekutif DCA yang juga pembicara dalam Humanitalk ini bercerita tentang banyaknya sampah-sampah di pantai-pantai serta laut Indonesia. Hal yang paling menyedihkan adalah 60% dari sampah tersebut merupakan sampah plastik dan shampo sachet 😭
DCA yang awal mulanya adalah sebuah komunitas terdiri dari para penyelam ini kemudian rutin melakukan clean up, riset dan community development khususnya di pulau-pulau kecil. DCA telah berubah menjadi LSM di tahun 2017 kemudian turun dalam program sosialisasi kepada masyarakat setempat untuk melakukan pengeloaan sampah secara tepat. Selain itu, mereka pun melakukan usaha yang lebih berdampak dengan mendatangi perusahaan-perusahaan FMCG yang turut berperan dalam menghasilkan sampah kemasan plastik tersebut.
Sesi yang paling paling menohok menurut saya adalah saat mba Dila Hadju dari Tumbuh Hijau Urban memaparkan sebuah presentasi tentang apa yang bisa kita lakukan untuk memberikan dampak kepada lingkungan. Dari perilaku-perilaku memilah dan menyortir sampah, hemat listrik, hingga menggunakan transportasi umum, ada satu hal yang cukup kontroversial tapi masuk akal. Hal tersebut adalah pembatasan jumlah keturunan/anak.
Menurut saya ini make sense banget, karena setiap manusia baru yang terlahir ke dunia ini adalah seorang consumer baru. Ia akan membuat mata rantai konsumsi semakin banyak dan panjang. Logis jika banyak anak banyak konsumsi. Seperti yang kita amini bersama, semakin tinggi tingkat konsumsi seseorang maka semakin tinggi juga energi yang dibutuhkan dan waste yang dihasilkan.
Meskipun demikian, apa lantas kita jadi gak boleh punya anak? Tentu tidak juga. Karena kita juga berharap keturunan-keturunan kita kelak akan menjadi manusia-manusia yang melakukan perbaikan. Kuncinya ya dari kita sendiri harus memperbaiki diri kita dulu. Kita harus peduli dan beneran mau bergerak, bukan cuma nge-likes dan nge-share postingan di sosmed doang.
Kebahagiaan yang Kita Rasakan Saat Ini adalah Pinjaman dari Anak Cucu Kita di Masa Depan
Mas Syamsul Ardiansyah sempat memaparkan sebuah data bahwa untuk mencukupi konsumsi seluruh penduduk bumi, dibutuhkan 1.7x Bumi lagi. Berarti satu Bumi ini udah terlalu padat. Energi terbarukan bukan lagi inovasi keren-kerenan, tapi udah jadi kebutuhan yang sifatnya urgen untuk dipenuhi.
Sebetulnya Indonesia punya potensi energi terbarukan yang cukup besar, yaitu matahari. Salah satu program lingkungan yang sedang dikembangkan oleh Dompet Dhuafa adalah pembuatan panel-panel surya untuk toilet-toilet darurat. Menurut mas Syamsul, sebetulnya penelitian itu rutin dilakukan namun tantangannya adalah penelitian tersebut hanya berhenti pada tahapan prototype belum sampai ke mass production.
“Bulan Ramadhan tahun 2020 ini kami akan mencoba untuk mengaplikasikan hasil riset pelepah pinang yang dapat menjadi alternatif bagi styrofoam yang biasa digunakan untuk membungkus makanan. Kita akan coba dulu di rekan-rekan UKM binaan Dompet Dhuafa.”
Di sesi Humanitalk, dihadirkan pula orang-orang yang ada di balik Disaster Management Center Dompet Dhuafa, yaitu kang Adhe Indra Saputra dan kang Awaluddin. Kang Adhe adalah relawan terlatih dan terdidik yang senantiasa berada di gardu terdepan saat bencana terjadi di Indonesia.
Saat sesi talkshow, ada seorang peserta yang bertanya, “apakah isteri dan anggota keluarga gak ada yang protes gitu kalau Kang Adhe jarang pulang, mana rumahnya yang kebanjiran juga ditinggal demi menyelamatkan orang lain?” Kang Adhe dengan gaya santuynya menjawab, “Alhamdulillah isteri gak pernah protes, karena dari awal kami menikah saya sudah berkomitmen bahwa separuh hidup saya telah saya berikan kepada kemanusiaan” 😭 WHOAAA CRIESSSS~~~~
Kang Adhe ini hebat banget asli. Bukan hanya beliau yang jadi relawan, tapi SEMUA anggota keluarganya juga terlibat menjadi relawan. Mereka semua terlatih dan merupakan bagian dari komunitas pegiat sungai. Bagi Kang Adhe dan keluarganya, makna kebahagiaan adalah saat mereka bisa ada dan membantu sewaktu orang lain mengalami kesulitan khususnya dalam keadaan krisis dan bencana. (Ok, who’s cutting onion right now???? Nooo I’m not crying. YOU cryin’…!!!!!)
Saya punya mimpi kalau misalkan Allah izinkan saya dan suami punya keturunan, saya ingin keluarga kami sama-sama turun untuk jadi relawan. Saya ingin anak-anak saya sadar bahwa “gadget is not life.” Saya ingin mengembalikan kembali nilai-nilai sosial yang mulai luntur gegara invasi teknologi. Semoga bisa kesampaian ya Allah… (aamiiinn yaa Rabb~).
Di sesi Humanitalk terakhir, Kang Awaluddin selaku management DMC sempat membagikan cerita dan tips-tips bagaimana mitigasi bencana yang harus disadari dan dipersiapkan semua orang. Salah satunya adalah pengadaan tas bencana yang harus dimiliki setiap KK. Tujuannya agar apapun yang terjadi, kita selalu siap untuk meminimalisir dampak dan resiko yang mungkin timbul setelah bencana.
Karena biar gimanapun juga, dimanapun tempat kita tinggal, selalu ada resiko dan potensi bencana. Hanya ada dua cara yang bisa kita lakukan, yaitu adaptasi dan usaha mitigasi. Menyesuaikan diri dengan apa yang terjadi saat ini dan mengubah pola konsumsi kita agar lebih ramah terhadap lingkungan. Kita gak pengen dong, lingkungan kita semakin rusak akibat ulah tangan kita sendiri. Bisa jadi kita yang jadi korban atau kalau bukan kita, ya anak-anak dan cucu-cucu kita di masa depan. Gak mau kann???
Berperan dan Berbagi Kebahagiaan itu Gak Sulit Kok
Di Jakhumfest ini, selain ada sesi Humanitalk bersama para pegiat lingkungan dan kemanusiaan, ada pula Kak Iman perwakilan dari Tokopedia Salam. Nah, Tokopedia Salam ini merupakan fitur baru dari Tokopedia yang memudahkan kita untuk berdonasi saat belanja. Jadi sambil belanja, kita juga bisa turut berperan serta dalam isu-isu sosial kemanusiaan tertentu.
Gak hanya Humanitalk dan pameran foto yang ditunggu oleh anak-anak muda ibukota ini. Ada juga sesi Melukis Payung bersama kak Chikita Fawzi selaku artis mural dan Wardah. Workshop melukis payung ini terinspirasi dari para pelukis payung di Yogyakarta yang juga merupakan organisasi binaan dari Dompet Dhuafa.
Nah event terakhir dan yang paling ditunggu-tunggu di Jakhumfest adalah konser musik bertajuk “Sounds of Humanity” yang menghadirkan Navicula, V1mast, dan Chiki Fawzi. Seluruh hasil penjualan tiket Jakhumfest ini akan didonasikan dalam program kemanusiaan dan lingkungan yang dikelola oleh Dompet Dhuafa.***
Leave a Reply